A Mind for Truth

Christian Life

A Mind for Truth

13 September 2016

Kehidupan pemuda adalah kehidupan yang penuh dengan kegairahan dan semangat. Kehidupan yang diwarnai oleh antusiasme untuk keberhasilan ambisi hidupnya. Salah satu yang menjadi target ambisinya adalah intelektualitas. Ada kepuasan tersendiri di saat kita mencapai tingkat intelektualitas yang tinggi, kehidupan yang dihormati, pemikiran dan pendapat yang dihargai, serta peluang yang lebih besar untuk memiliki kehidupan yang baik. Semua hal ini adalah kondisi yang didamba-dambakan kebanyakan pemuda. Selain hal-hal “sampingan” yang telah disebutkan, dunia intelektualitas juga memiliki daya tariknya tersendiri. Keberhasilan di dalam mencapai apa yang selama ini dianggap tidak mungkin oleh teori yang berkembang di dalam suatu  bidang adalah harapan yang ingin diraih kebanyakan kaum intelek. Oleh karena itu tidak heran kalau kita sering berjumpa dengan pemuda-pemudi yang memiliki ambisi dan dedikasi tinggi di dalam dunia intelektualitas.

Intelektualitas adalah hal baik yang Tuhan berikan bagi manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Tuhan memberikan rasio, agar dengannya manusia dapat menggarap alam dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai budaya, selain untuk mengenal Dia dan mengerti kehendak-Nya. Oleh karena itu, menjadi seseorang yang berintelek adalah bagian dari mandat budaya yang Tuhan berikan bagi manusia. Tetapi jikalau intelektualitas terlalu diagungkan hingga melampaui batasan yang Tuhan berikan, sudah tentu itu adalah keberdosaan dan akan mendatangkan celaka bagi diri manusia sendiri. Intelektualitas memang begitu mengagumkan, tetapi jika hal ini sudah menjadi berhala maka intelektualitas akan berubah menjadi sebuah kebodohan yang menghancurkan.

Di dalam sejarah ada satu periode di mana manusia mengagungkan intelektualitas hingga titik di mana mereka menjadikannya sebagai standar yang menentukan keabsahan suatu kebenaran. Sebuah zaman yang menjadikan rasio standar penentu kebenaran, yang disebut sebagai Abad Pencerahan (enlightenment). Sebuah gerakan di Benua Eropa pada akhir abad ke-17 yang menekankan intelektualitas, dan membuang tradisi yang sudah dibangun ratusan tahun sebelumnya. Memang pada zaman ini, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Penemuan-penemuan utama seperti mesin uap dan lampu ditemukan pada zaman ini. Tokoh-tokoh besar yang menjadi panutan dalam ilmu pengetahuan seperti Adam Smith, Rene Descartes, John Locke, Immanuel Kant, Isaac Newton, dan Thomas Alfa Edison juga lahir pada zaman ini. Bahkan peristiwa penting yang menjadi titik balik perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu Revolusi Industri, juga terjadi pada zaman ini. Pencapaian-pencapaian yang begitu mengagumkan terjadi pada Abad Pencerahan ini; bahkan beberapa pihak berani memandang intelektualitas dan ilmu pengetahuan sebagai juru selamat umat manusia.

Tetapi semua pandangan ini kandas dan hancur setelah manusia melihat dampak (side effect) dari pengagungan akan intelektualitas. Sekitar awal hingga pertengahan abad ke-20 terjadi 2 kali Perang Dunia yang menelan korban jiwa yang begitu banyak dan kerusakan yang begitu besar. Baik dari segi ekonomi, lingkungan, moralitas, sosial, dan budaya, semua aspek-aspek ini harus rusak karena keangkuhan manusia yang meninggikan rasio mereka. Krisis ekonomi berkepanjangan (the Great depression), pencemaran lingkungan, moralitas manusia yang semakin rusak, dan isu-isu lainnya menjadi efek negatif atau masalah yang tidak kunjung usai hingga hari ini. Dengan adanya fakta ini, masihkah intelektual dan ilmu pengetahuan bisa diharapkan sebagai juru selamat manusia?

Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa hikmat dunia adalah kebodohan dan kesia-siaan bagi Allah (1Kor. 3:19-20). Bahkan Allah sendiri yang akan menghancurkan hikmat dan kearifan manusia yang sesunguhnya adalah kebodohan (1Kor. 1:18-25). Hikmat yang sejati adalah saat kita menaklukkan rasio kita kepada kebenaran firman Tuhan. Jadi, siapakah kaum intelek yang sesungguhnya? Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah (Ams. 1:7).

Sebagai orang yang sudah ditebus, kita dipanggil untuk menjalankan kehidupan yang memuliakan Allah. Kehidupan ini bukan hanya sebuah kehidupan yang mencerminkan etika hidup yang sesuai dengan Alkitab, tetapi juga kehidupan yang menaklukkan rasio dan pikiran kita kepada Sang Kebenaran. Hal ini tidak berarti kita membuang segala ilmu pengetahuan atau pemikiran-pemikiran yang sudah berkembang di dalam sejarah. Tetapi dengan akal budi yang sudah diperbarui dan kebenaran yang tajam bagaikan pedang bermata dua, kita menganalisisnya kembali. Kebenaran dan kepalsuan harus dipisahkan. Inilah panggilan orang Kristen untuk menjadi kaum intelek yang takluk kepada kebenaran serta menaklukkan segala pemikiran kosong manusia kepada Kristus (2Kor. 10:5).

Dengan kata lain, rasio kita diciptakan adalah untuk kebenaran sejati, bukan untuk kepalsuan atau kebohongan. Kebenaran sejati hanya dapat kita temukan di dalam diri Kristus yang menciptakan dan menopang seluruh dunia ini, karena Dialah Sang Kebenaran yang menopang seluruh kebenaran di dalam dunia ini. Sebagai orang Kristen, kita sudah dimampukan untuk menemukan kebenaran sejati di dalam dunia ini melalui penebusan Kristus di dalam diri kita serta iluminasi Roh Kebenaran yang dikerjakan-Nya bersama dengan firman-Nya. Masihkah kita bersukacita dalam kepalsuan dunia ini? Mari kita kembalikan rasio kita untuk kebenaran yang sesungguhnya, kembalikan akal budi kita bagi kebenaran sejati. (SL)