Aku, Diriku, dan Mereka

Christian Life

Aku, Diriku, dan Mereka

10 July 2017

Abad ke-21 menjadi abad di mana manusia mengejar aktualisasi diri. Oleh sebab itu, tidak heran jika “ledakan” media sosial terjadi di mana-mana. Mulai dari facebook, twitter, instagram sampai demam tongsis yang dipakai sebagai alat untuk menyatakan, “hey, aku ada di sini dan lagi begini” kepada orang lain. Bahkan tidak sedikit yang berlomba-lomba agar fotonya di-like oleh banyak orang. Yang lebih parah lagi ada yang sampai rela mem-posting hal-hal yang kontroversial supaya menjadi terkenal: sebut saja fenomena awkarin yang sempat heboh. Semua ini dilakukan hanya untuk menyatakan bahwa saya ada dan saya ingin dikenal.

Namun, jika kita merenungkan lebih dalam lagi, justru semangat aktualisasi diri ini hanya akan melenyapkan eksistensi diri sendiri. Bayangkan jika SEMUA orang hanya menuntut orang lain untuk mengakui diri si “aku”, maka diri mereka justru tidak akan menjadi siapa-siapa karena, toh, tidak ada yang peduli dengan “mereka”. Yang ada hanya masing-masing sibuk dengan diri mereka sendiri. Di sinilah kita mengetahui bahwa semangat meninggikan diri sendiri adalah semangat yang salah dan ketidakbenaran ini jika diterapkan secara konsisten dalam hidup, pasti akan menghancurkan hidup itu sendiri.

Lalu yang benar seharusnya seperti apa? Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa semangat yang memberi kehidupan adalah semangat yang mengorbankan diri sendiri untuk membangun orang lain.

“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” – Yoh. 12:24

Inilah yang Kristus lakukan: Dia rela mengorbankan diri sepenuhnya agar manusia berdosa seperti kita dapat hidup kembali. Kebenaran sejati yang memberi kehidupan adalah ketika kita rela memberikan diri kita untuk orang lain. Mengapa kita dapat menjadi seorang Kristen sekarang? Bukankah itu karena ada orang yang rela meninggalkan kenyamanan dirinya sendiri untuk datang menginjili kita ataupun orang-orang tua kita? Mengapa kita bisa menjadi orang Kristen yang bertumbuh kerohaniannya? Bukankah itu karena ada pendeta atau pembimbing kita yang rela mengorbankan tenaga dan waktu untuk menggembalakan dan mendidik kita? Mengapa kita boleh beribadah kepada Tuhan? Bukankah itu karena Kristus yang rela meninggalkan takhta mulia, datang menjemput kita kembali kepada Bapa?

Sudah terlalu banyak orang dan bahkan Tuhan sendiri telah rela mengorbankan diri, sehingga kita bisa ada sebagaimana kita ada sekarang. Masa iya selama ini kita hanya sibuk dengan diri kita sendiri? Seolah-olah kita yang paling layak dan harus terus mendapat perhatian? Spirit inkarnasi tentu sangat bertolak belakang dengan spirit zaman ini.

Alkitab mengatakan bahwa sebagai anggota tubuh Kristus, kita dipanggil untuk membangun kesatuan tubuh Kristus, yaitu Gereja, di dalam kasih (Ef. 4:12, 16). Namun, bagaimana mungkin kita dapat membangun tubuh Kristus jika kita masih mengikuti semangat zaman ini? Selama kita hanya masih menuntut orang lain untuk melayani kita, kita tidak akan ke mana-mana! Biji gandum itu hanya tetap akan menjadi satu biji. Hanya dengan kerelaan untuk menyerahkan diri kita bagi pekerjaan Tuhan di zaman ini, barulah tubuh Kristus dapat dibangun dan biji tersebut berbuah banyak. Buah inilah yang kemudian akan menjadi persembahan yang harum dan menyenangkan hati Tuhan. Maukah kita dengan rendah hati belajar dari Tuhan, yang sebelum menuntut kita, sudah terlebih dahulu memberikan diri-Nya untuk kita? (IT)