“Everything happens for a reason”, suatu slogan yang sering terdengar baik dalam kalangan orang Kristen maupun non-Kristen. Pemikiran ini datang karena manusia senantiasa mencari sebab akibat dari segala sesuatu. Ketika kita ditimpa masalah, kita mengatakan pada diri kita bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada alasannya. Kita mulai mencari apakah alasan tersebut datang dari diri kita. Kita menjadi penasaran dan mulai mencari tahu apa yang sudah kita lakukan, lalu mencari kemungkinan apakah masalah itu ditimbulkan orang lain. Sampai ketika kita tidak bisa menemukan jawabannya, kita mulai bertanya kepada Tuhan, “Kenapa?” Akhirnya kita mengatakan pada diri kita, “Everything happens for a reason”, maka ketika Tuhan yang berdaulat atas dunia ini juga harus memiliki reason-Nya di dalam menentukan atau mengizinkan segala sesuatu.
Akan tetapi, sadarkah kita bahwa pemikiran ini justru memiliki kebahayaan? Slogan ini terkesan rohani, tetapi justru membuka ruang untuk kita menyalahkan Tuhan. Sama seperti Adam dan Hawa, ketika mereka mulai melihat bahwa makan buah terlarang menimbulkan masalah, mereka mulai mencari alasan terjadinya masalah tersebut. Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular. Inilah yang terjadi ketika manusia berusaha mencari alasan dari keburukan yang terjadi. Sama halnya juga dengan Ayub. Ayub dikatakan orang yang sangat saleh, tetapi ditimpa oleh masalah yang begitu besar. Seluruh anaknya mati, kekayaannya lenyap dalam sekejap, istrinya yang terkasih juga meninggalkan dia, dan tubuhnya juga membusuk. Ayub bertanya-tanya kepada Tuhan, apa alasan dia tertimpa masalah yang begitu besar. Sampai-sampai dia berani menantang Tuhan untuk memeriksa apakah dirinya pantas diberikan kesulitan seperti itu.
Orang Kristen sering kali juga seperti teman-teman Ayub yang selalu memikirkan sebab akibat. Teman-temannya mulai menuduh Ayub melakukan dosa karena memang di zaman itu sangat lazim memikirkan bahwa keburukan datang karena kurang berbuat baik atau sudah berbuat jahat atau persembahan kepada dewa mereka kurang. Kalau lebih rohani sedikit kita mungkin seperti Elihu mengatakan bahwa kesulitan yang dilalui adalah untuk mencegah kita berdosa dan untuk mendidik karakter. Sampai akhirnya, bukan lagi teman-teman Ayub yang menjawab, tetapi Allah sendirilah yang menjawabnya.
Allah tidak menjawab, “Alasannya seperti ini Ayub…” Tuhan malah menceritakan detail dari setiap pekerjaan tangan-Nya, bagaimana ia menopang matahari, bintang, cuaca, kambing gunung, buaya, dan lain sebagainya. Kita mungkin berpikir, “Tuhan kok tidak nyambung!” Akan tetapi, justru inilah yang ingin Tuhan ajarkan kepada kita. Janganlah berlaku seperti orang-orang yang percaya pada ilah lain yang selalu mencari alasan atas segala sesuatu, seakan hikmat pikiran kita menjadi paling mendasar bagi segala yang terjadi. Namun, Allah mengajarkan bahwa kita harus percaya penuh kepada Allah karena Dialah yang menciptakan langit dan bumi dan segala isinya. Dia jugalah yang menopang segala sesuatu sampai kepada hal-hal kecil dan detail yang tidak pernah kita pikirkan.
Maka marilah kita belajar ketika ada dalam masalah, belajar untuk tidak berpusat kepada diri dengan terus berputar pada pikiran diri kita yang terbatas dan berdosa itu. Akan tetapi, sebagai anak-anak-Nya, belajarlah untuk percaya sepenuhnya kepada Allah Tritunggal, yang telah menjadikan segala sesuatu dan yang telah menebus kita. Maka kita akan mengerti bahwa tidak semuanya harus terjadi seperti yang kita pikirkan, atau harus memuaskan pikiran kita, atau bahasa umumnya, harus beralasan. Kiranya Tuhan menambahkan hikmat-Nya kepada kita untuk makin percaya dan bergantung kepada-Nya. (SW)