Euforia

Christian Life

Euforia

21 December 2020

Secara etimologis, euforia dapat berarti kebahagiaan yang ekstrem, yang melampaui akal, dalam situasi tertentu (menurut kamus Cambridge). Kata euforia awalnya digunakan di dalam dunia medis untuk menggambarkan suatu perasaan sejahtera yang dihasilkan oleh obat-obatan pada orang yang sakit. Namun, kata euforia sekarang ini sudah sering dipakai di luar dunia medis, misalnya di dalam dunia olahraga.

Ketika Piala Dunia (event terbesar dalam sepak bola) akan dimulai, kita sering mendengar kalimat “Para penggemar sepak bola sedang dilanda euforia piala dunia.” Para penggemar rela antre berjam-jam demi mendapatkan selembar tiket, mereka sibuk mempersiapkan ornamen-ornamen seperti bendera dan kostum tim favorit mereka, bahkan sampai mengecat wajah dengan lambang atau bendera tim yang didukung.

Di dalam kekristenan, kata euforia mungkin tidak pernah dipakai sama sekali. Keengganan ini mungkin saja akibat kata euforia memiliki konotasi negatif, yaitu perasaan tidak normal yang dialami para pecandu narkotika. Namun setidaknya, kata ini mewakili perasaan bahagia yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen yang sehat. Kata ini juga mewakili sikap antusias untuk mempersiapkan diri menyambut event yang sangat dinanti-nantikan orang Kristen: perjumpaan dengan Allah dalam ibadah.

Pada waktu artikel ini ditulis, pandemi COVID-19 telah melanda dunia selama kurang lebih 6 bulan. Pandemi ini memaksa kita untuk membatasi kontak fisik dengan sesama dan mengakibatkan pelarangan ibadah komunal secara fisik menjadi tidak terelakkan. Ibadah online melalui live streaming menjadi alternatif yang cukup baik. Ibadah demi ibadah dilaksanakan dengan melihat layar kaca. Lambat laun, kita menjadi makin terbiasa dan nyaman beribadah online dan menginginkan ibadah seperti ini berlangsung selamanya. Kita bisa beribadah memakai baju tidur, bisa memilih jam yang kita ingini, dan tentunya tidak perlu bertemu dengan jemaat lain yang menyebalkan.

Maka, ketika pemerintah mengumumkan bahwa ibadah fisik sudah boleh dilaksanakan kembali, respons kita adalah “Apakah ibadah tetap disiarkan secara online?” Tidak ada kebahagiaan ekstrem yang melampaui akal, tidak ada euforia yang membuat orang mengantre di depan gereja menunggu pintu dibuka. Tidak ada persiapan (baik fisik maupun hati) untuk menyambut event yang seharusnya dinanti-nantikan orang Kristen: perjumpaan dengan Allah dalam ibadah. Pandemi ini membocorkan isi hati kita: ibadah fisik, bagi kita, hanyalah rutinitas yang membosankan dan bukanlah event yang kita nanti-nantikan; ibadah fisik bukanlah sumber kegembiraan yang melampaui segala akal dalam kehidupan kita.

Tetapi, bukankah ibadah online juga merupakan perjumpaan dengan Tuhan? Bukankah Tuhan tidak dibatasi oleh tempat? Bukankah gereja adalah orangnya dan bukan gedungnya? Tentu saja semua itu benar. Namun jika kita kembali melihat para penggemar yang sungguh-sungguh mencintai sepak bola, bukankah aneh jika ketika Piala Dunia diadakan, mereka lebih memilih untuk menonton melalui layar kaca (online) daripada hadir secara langsung (fisik) dan merasakan euforianya bersama dengan penggemar lainnya?

Jika kita mengerti kalau ibadah jauh lebih penting daripada menonton sepak bola, hadirat Tuhan jauh lebih berharga daripada pertandingan sepak bola, dan bahwa jemaat Allah bukanlah sekadar penggemar, melainkan pribadi yang sudah dibeli oleh darah Kristus, mengapa euforia penggemar sepak bola terhadap pertandingan sepak bola terlihat lebih jelas daripada euforia kita terhadap ibadah? (MR)