In Order to be Big What Do You Compromise?

Christian Life

In Order to be Big What Do You Compromise?

6 May 2019

Judul di atas merupakan kutipan dari kalimat yang diungkapkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, khususnya ditujukan kepada para hamba Tuhan yang melayani bersamanya. Tentu saja kalimat itu tidak hanya berlaku untuk para hamba Tuhan saja, tetapi juga bagi kita semua. Apa maksud kalimat tersebut?

Kita adalah manusia berdosa. Manusia pertama Adam jatuh dalam dosa karena dicobai oleh iblis dengan tawaran menjadi Allah. Allah adalah satu-satunya yang harus dipuja dan disembah; Satu-satunya yang harus dimuliakan dan diagungkan. Manusia adalah ciptaan Allah yang termulia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang agung itu. Tetapi manusia tidak puas hanya sebagai manusia, hanya sebatas sebagai gambar dan rupa Allah. Dia ingin menjadi Allah. Dia juga ingin mendapatkan pujian dan kemuliaan seperti Allah. Alih-alih menjadi Allah, Sumber Kehidupan, keinginan manusia “menjadi Allah” dengan melawan perintah Allah justru membuahkan kematian. Upah dari dosa adalah maut. Upah melawan Allah adalah kematian.

Maka sejak kejatuhan manusia dalam dosa, keinginan manusia menjadi Allah terus terbawa dalam kehidupannya. Manusia ingin dipuja-puja, ingin dihormati, ingin dimuliakan, yang seharusnya itu adalah bagian yang harus diberikan kepada Allah. Manusia ingin menjadi besar. Namun sayang, sering kali demi mendapatkan “kebesaran” tersebut, manusia rela melakukan apa saja. Bahkan, kita sebagai orang Kristen pun tidak terlepas dari keinginan untuk menjadi besar. Demi mendapatkan “kebesaran” tersebut kita rela mengompromikan kebenaran. Kebenaran yang mutlak kita relatifkan. Kita mengeluarkan seribu satu alasan untuk membenarkan segala tindakan kita demi mendapatkan “kebesaran” tersebut.

Pertanyaannya, bila kita rela mengompromikan kebenaran, akankah kita mendapatkan “kebesaran” tersebut? Secara fenomena mungkin seolah kita mendapatkannya, tetapi sesungguhnya kita makin kehilangan bukan hanya “kebesaran” tersebut tetapi juga kehilangan jati diri kita. Akhirnya, bukan “kebesaran” yang kita dapatkan tetapi kehinaan yang kita dapatkan.

Marilah kita sadar, manusia paling besar justru ketika dia dekat dengan sang Pencipta, ketika dia sesuai dengan kehendak sang Pencipta, dan ketika dia sepenuhnya menyatakan kemuliaan sang Pencipta. Dengan kata lain, manusia paling “besar” adalah ketika manusia kembali kepada keberadaan yang sejati yang telah Allah ciptakan. Mari menjadi “besar” dengan menjadikan Allah maksimal “dibesarkan” di dalam hidup kita. (DS)