Kacamata

Christian Life

Kacamata

20 May 2019

Kacamata merupakan sebuah benda yang tidak asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Entah itu kacamata minus karena tidak bisa melihat jauh, kacamata plus untuk baca bagi orang usia lanjut, atau kacamata hitam untuk menangkal silaunya matahari. Jikalau kita memakai kacamata hitam, maka kita cenderung akan melihat sekitar kita menjadi agak lebih gelap atau terkesan mendung. Kita akan tertipu oleh kacamata tersebut. Cuaca yang terang benderang akan kita kira mendung. Tetapi begitu kita ganti dengan kacamata polos, maka pemandangan yang tampak mendung tadi akan berubah menjadi terang benderang. Yang berubah lingkungannya, atau kesan yang dimunculkan oleh kacamatanya? Ya, betul sekali… tentu saja kacamatanya. Jenis kacamata seperti apa yang kita pakai akan memengaruhi hasil kita melihat sekitar kita.

Demikian juga dengan cara pandang kita dalam melihat kehidupan ini. Cara pandang seperti apa yang kita pakai, akan memengaruhi bagaimana kita melihat dunia ini dengan segala peristiwanya dan bagaimana cara kita menyikapinya. Ketika kita memakai kacamata “kesuksesan” bahwa yang disebut kesuksesan itu adalah kalau kita kaya raya, terkenal, punya posisi jabatan tinggi, dan lain-lain. Dengan demikian, seluruh hidup kita akan “disetir” menuju ke sana. Kita rela melakukan apa pun demi mencapai kesuksesan tersebut. Semua hal yang tidak sesuai dengan kacamata kesuksesan itu akan kita anggap gagal.

Lalu kacamata Alkitab apakah yang diajarkan kepada kita? Menarik bila kita melihat Mazmur 73, bagaimana si Pemazmur Asaf bergumul ketika ia seolah-olah gagal dan merasa terhina saat melihat orang-orang di sekitarnya, yang tidak takut kepada Allah telah menghina Allah, namun hidup mereka sukses. Simak sebagian dari keluhan Asaf: “Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka menambah harta benda dan senang selamanya! Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi” (Mzm. 73:12-14). Asaf mengeluh demikian karena dia masih memakai kacamata yang sama dengan kacamata dunia dalam menilai kesuksesan hidup. Namun ketika dia beralih kepada Allah, melihat dengan kacamata Allah, apa yang dilihatnya menjadi berbeda. Simak perkataan Asaf ketika melihat kehidupan orang sekitarnya yang dianggap sukses tersebut: “Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur. Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan!” (Mzm. 73:18-19). Asaf kemudian memutuskan bagaimana seharusnya ia menyikapi dan menjalani hidup di dunia yang tidak takut akan Tuhan ini: “Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm. 73:23,25-26).

Melalui kacamata Allah, kita akan jelas melihat seperti apa ujung akhir hidup manusia. Dengan demikian kita tahu bagaimanakah dan apakah yang harus kita kejar selama Tuhan masih mengizinkan kita hidup di dunia yang berdosa ini. Kita bukan lagi mengejar kesuksesan dunia yang ujungnya adalah kebinasaan, melainkan kita mengejar hidup yang terus taat dan bersandar kepada Allah. Mari kita meminta kepada Tuhan kacamata kekal tersebut. (DS)