Pengobar Injil di Asia

John Sung (1901-1944)

Pengobar Injil di Asia

20 September 2014

John Sung

Generasi masa kini dari gereja di Indonesia banyak yang sudah tidak mengenal John Sung. Tetapi sebenarnya di antara kita banyak yang merupakan buah dari benih Injil yang ditaburkan John Sung kepada generasi-generasi pendahulu kita.

Siapakah John Sung? Ia lahir dengan nama Sung Siong Geh pada tanggal 27 September 1901 di sebuah desa miskin di provinsi Fujian, Tiongkok Tenggara. Ia adalah anak keenam dari seorang pendeta Gereja Metodist. Ibunya adalah seorang buruh tani.

Sejak kecil John Sung memiliki watak yang unik. Walaupun terlahir dengan tubuh yang kurus dan lemah, ia adalah seorang yang gesit dalam segala hal dan seorang yang keras kepala, tidak sabar, bahkan mudah marah. Ia suka ikut ayahnya berkeliling melayani kebaktian ke desa-desa. John Sung, yang baru berusia 12 tahun, kadang-kadang bisa menggantikan ayahnya berkhotbah dan menjelaskan Alkitab dari atas mimbar ketika ayahnya sedang sakit. Jadi, ia sudah mulai berkhotbah sejak usia remaja.

John Sung tampak lebih unik lagi di sekolah. Kecerdasannya melewati batas wajar. Ia seorang genius. Ia bisa mengingat setiap kata dari setiap buku yang dibacanya dan sanggup menghafal kitab Mazmur, Amsal, dan kitab-kitab Injil. Pada usia 18 tahun, ia mendapat bea siswa dan menyelesaikan Program Master of Science dalam sembilan bulan di Wesleyan University di Ohio, Amerika Serikat dan menyelesaikan Program Doktoral dalam ilmu kimia dalam tiga semester saja di Ohio State University.

Reputasi akademisnya mengundang banyak tawaran pekerjaan baik dari perusahaan-perusahaan raksasa maupun pemerintah di Jerman. Pada saat itu ia baru berumur 25 tahun. John Sung menolak semua itu dan memutuskan menjadi seorang pekabar Injil dan belajar theologi di Union Theological Seminary di New York dalam waktu satu tahun, lalu kembali ke Tiongkok pada tahun 1927. Pada tahun 1930-31 ia bergabung dengan tim penginjilan dari Bethel Bible Seminary di Shanghai dan membentuk "Bethel Evangelistic Band". Hingga tahun 1936 dipercaya sudah lebih dari 100.000 orang Tionghoa yang bertobat di dalam kebaktian yang dipimpinnya. Sementara itu tubuhnya semakin lemah dengan penyakit asma, paru-paru, jantung, dan khususnya mata.

Ketika menjadi pendeta, John Sung berpenampilan unik. Ia tetap kurus kecil. rambutnya pendek, dan selalu terurai di dahi. Mukanya pucat dan selalu menunduk. Ia selalu berpakaian kemeja putih sederhana model Tiongkok kuno. Ia tidak suka tersenyum sana-sini atau berbasa-basi. Sifatnya ketus dan menyendiri. Ia pemalu. Namun, pada saat berkhotbah, tiba-tiba ia menjelma menjadi "nabi" yang berapi-api.

John Sung beberapa kali datang ke Indonesia. Seperti biasa ia berkhotbah tentang dosa, pertobatan, kelahiran kembali, dan kesucian. Kutukannya terhadap dosa tegas dan gamblang tanpa takut. Ketika di Surabaya pada tahun 1929, John Sung mengadakan rangkaian pemberitaan Injil yang disebut "Serie Meeting" yang terdiri dari 21 Pemahaman Alkitab atau khotbah setiap pagi, petang, dan malam selama tujuh hari. "Serie Meeting" ini kemudian juga diadakan di Madiun, Solo, Magelang, Purworejo, Yogyakarta, Cirebon, Bandung, Bogor, Jakarta, Makasar, Ambon, dan Medan. Khotbahnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Orang-orang datang berduyun-duyun sampai gedung kebaktian penuh sesak dan membuat ratusan ribu orang Indonesia menerima Injil Kristus antara tahun 1935-1939. John Sung bekerja sama dengan Dr. Andrew Gih (pendiri Yayasan Kalam Kudus dan Seminari Alkitab Asia Tenggara) dalam pengabaran Injil di Tiongkok.

Kesehatannya semakin memburuk namun semangat pelayanannya tidak mengendur. Ia menderita penyakit tuberkulosis usus bertahun-tahun lamanya. Ia sering pingsan di tengah-tengah khotbahnya, dan harus dirawat beberapa saat. Segera setelah ia siuman, ia meneruskan khotbahnya sampai selesai. Sering kali ia harus berbicara sambil bersandar untuk mengurangi rasa sakitnya. Sebelum hari meninggalnya ia sempat menyanyikan tiga buah lagu pujian bagi Tuhan. John Sung meninggal karena penyakitnya ini pada tanggal 18 Agustus 1944 dalam usia 42 tahun. Di kalangan akademik ia dikenang sebagai kimiawan genius – calon pemenang hadiah Nobel untuk ilmu kimia. Namun, di hati banyak orang, ia dikenang sebagai pembawa berita Injil yang paling berpengaruh, khususnya di Asia, pembawa obor kehidupan, api Injil bagi Asia dan juga Indonesia.