Persembahan yang Asing

Devotion

Persembahan yang Asing

15 May 2023

“Kemudian anak-anak Harun, Nadab dan Abihu, masing-masing mengambil perbaraannya, membubuh api ke dalamnya, serta menaruh ukupan di atas api itu. Dengan demikian mereka mempersembahkan ke hadapan TUHAN api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada mereka.” – Imamat 10:1

Nadab dan Abihu adalah anak-anak Harun dan mereka berdua adalah imam. Jabatan imam merupakan jabatan yang tidak main-main karena jabatan tersebut merupakan pemberian Allah. Seorang imam diberikan hak yang sangat spesial oleh Tuhan, yaitu mewakili umat Tuhan mempersembahkan korban bakaran dan banyak jenis persembahan lainnya. Berbicara mengenai persembahan, Alkitab selalu memberikan prinsip bahwa persembahan kepada Tuhan haruslah merupakan persembahan dengan kualitas terbaik. Misalnya, persembahan anak domba haruslah anak domba yang tidak ada cacatnya sama sekali (Bil. 6:14). Ya, betul, “sama sekali” berarti ada bulu rontok sedikit saja dihitung sebagai kecacatan. Dengan demikian, domba tersebut dianggap mempunyai cacat dan tidak layak untuk dipersembahkan kepada Tuhan.
Di sini kita belajar bahwa memberikan persembahan kepada Tuhan haruslah sesuai dengan cara, standar, dan kriteria Tuhan. Inilah kesalahan fatal yang dilakukan oleh Nadab dan Abihu. Mereka pikir bahwa apa yang mereka persembahkan merupakan hal yang baik dan pasti menyenangkan hati Tuhan, tetapi nasib mereka malah berakhir dengan tragis. Mereka justru dihukum mati oleh Tuhan karena persembahan mereka adalah persembahan yang asing. Kenapa asing? Karena Tuhan tidak pernah memerintahkan mereka untuk memberikan persembahan dengan cara seperti itu. Dengan kata lain, Nadab dan Abihu “ngide”; mereka memakai cara, standar, dan kriteria mereka sendiri untuk mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan.
Mari kita berhenti sejenak dan merenungkan kisah tragis ini. Bukankah kita juga sering melakukan hal seperti ini? Dalam hidup kita sehari-hari, kita mengejar studi, prestasi, karir, gelar, uang, keluarga, dan sebagainya. Kita mengejar hal tersebut mati-matian, tetapi kita sadar bahwa kita juga adalah orang Kristen. Kita tentu tidak mau dianggap sebagai orang Kristen yang buruk, maka kita mencoba menggabungkan impian yang kita kejar dan menjadi orang Kristen yang baik. Bagaimana caranya? Kita mengejar studi yang paling tinggi, prestasi yang gemilang, karir yang sukses, gelar yang diakui orang lain, uang yang banyak, dan keluarga yang harmonis. “Ah, kalau saya mendapatkan pencapaian yang terbaik, Tuhan pastinya dipermuliakan kan? Kalau karir saya sukses dan dapat uang yang banyak, nantinya uang tersebut akan saya persembahkan ke gereja dan Tuhan pasti dipermuliakan kan?” Satu pertanyaan besar untuk kita semua: Tuhan pernah memerintahkan kita untuk memberikan persembahan dengan cara seperti itukah? Atau jangan-jangan ini ide dan cara kita sendiri?
Mengejar studi, prestasi, karir, gelar, uang, dan keluarga bukanlah hal jahat. Masalah utamanya bukan terletak di sana; masalahnya terletak pada: kita sedang mengikuti cara Tuhan sebagai bentuk persembahan kepada Dia, atau kita sedang “ngide” memakai cara kita sendiri seperti Nadab dan Abihu? (SI)