The Cambridge Seven

Charles Thomas Studd (1860-1931)

The Cambridge Seven

10 August 2015

“If Jesus Christ is God and died for me, then no sacrifice can be too great for me to make for Him.”

Meninggalkan pekerjaan untuk menjadi seorang misionaris tidaklah pernah mudah! Charles Thomas Studd (C. T. Studd) merupakan seorang atlet kriket yang sangat handal. Pada usia 22 tahun, dia sudah dipilih untuk mewakili negara Inggris dalam berbagai kejuaraan dunia. Namun Tuhan memanggil dia dan menjadikannya misionaris yang melayani di Tiongkok, India, dan Afrika (daerah Sudan dan Kongo-Belgia).

C. T. Studd lahir pada tanggal 2 Desember 1860 di Northamptonshire, Inggris.

Pada masa mudanya, Studd sangat gemar bermain kriket. Ketika berumur 19, dia menjadi kapten tim kriket Eton College di mana dia bersekolah. Setelah itu, dia juga mewakili perguruan tingginya, Cambridge University, dalam berbagai kejuaraan antar perguruan tinggi. Pada tahun 1882, Studd dipilih untuk mewakili Inggris dalam kejuaraan dunia. Dia bermain untuk negaranya 37 kali. Akan tetapi, C. T. Studd pada hari ini tidak diingat sebagai pemain kriket, dia dikenang sebagai seorang misionaris yang sangat dipakai Tuhan.

Sejak masa kecilnya, Studd bersama 5 saudara laki-lakinya beribadah di Church of England. Walaupun dia sudah dibaptis dan sudah berbagian dalam perjamuan kudus, dia tidak pernah mengakui Yesus sebagai Juruselamat pribadinya. Dia percaya Yesus adalah Tuhan, seperti halnya dia percaya Taft adalah Presiden Amerika – namun dia tidak mengenal-Nya secara pribadi.

Pada tahun 1877, Edward Studd, ayahnya yang merupakan pengusaha sukses, bertobat dan menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadinya di kebaktian yang dipimpin oleh D. L. Moody. Dia segera berhenti melakukan kesenangannya, yaitu pacuan kuda dan berburu, serta membuka rumahnya yang sangat besar untuk mengadakan kebaktian penginjilan. Dia mengundang banyak pengusaha dari London untuk datang mendengarkan Injil. Banyak yang bertobat melalui Edward Studd. Dua tahun kemudian, Edward meninggal dunia.

Tanpa diketahui ayahnya, C. T. Studd bertobat melalui pembicaraannya dengan seseorang dari banyak orang yang datang ke rumahnya untuk Injil. Dia sudah percaya bahwa kasih Tuhan membawa Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia tetapi tidak percaya akan kehidupan kekal. Orang tersebut menantang bahwa jika Tuhan sudah datang ke dunia memberikan kita hidup kekal, bagaimana kita tidak bersyukur dan memujinya. Dia berkata, “Then I got down on my knees and I did say “Thank you” to God. And right then and there joy and peace came into my soul. I knew then what it was to be born again, and the Bible, which had been so dry to me before, became everything.”

Setelah pertobatannya, percakapan dengan seorang teman membongkar konsepnya tentang berkat. Selama ini dia hanya mengerti pertobatan sebagai satu-satunya berkat yang Tuhan berikan kepada manusia. Namun temannya membuka Alkitab dan menunjukkan banyak sekali berkat yang Tuhan dapat berikan kepada manusia setelah pertobatan. Temannya bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki berkatberkat tersebut?”

Malam tersebut, Studd duduk di kamarnya dan merenungkan akan hidupnya sebagai seorang cendekiawan di Cambridge dan seorang atlet kriket yang mewakili Inggris. “Redemption means buying back so that if I belonged to Him, either I had to be a thief and keep what wasn’t mine, or else I had to give up everything to God. When I came to see that Jesus Christ had died for me, it didn’t seem hard to give up all to Him.” Pada malam itu juga, Tuhan memberikan beban dalam hatinya untuk pergi ke Tiongkok.

Pada tahun 1885, Studd bersama 6 orang temannya yang dijuluki The Cambridge Seven bergabung dalam badan misionaris China Inland Mission yang didirikan oleh Hudson Taylor. Keputusannya untuk pergi menjadi misionaris ditentang keras oleh keluarganya. Bahkan saudara laki-lakinya sendiri yang merupakan orang Kristen yang sudah lahir baru pun menegurnya. Pada saat sulit tersebut, Studd berkata, “Some want to live within the sound of church or chapel bell; I want to run a rescue shop within a yard of hell.”

Pada saat di Tiongkok, Studd menerima surat wasiat ayahnya yang menyatakan bahwa dia akan menerima sejumlah uang warisan yang sangat besar. Akan tetapi dia merasa bahwa dia harus membagikan kekayaannya supaya dunia tahu dia tidak hidup untuk uang tetapi hidup untuk Tuhan. Dia percaya Tuhan akan memberkati orang yang hidup untuk-Nya dan akan selalu mencukupi segala keperluaannya. Dia memberikan hampir seluruh uang warisannya kepada panti asuhan George Muller dan beberapa badan misi lainnya. Lalu, sebagian kecil dari uangnya diberikan kepada calon istrinya, Priscilla, sebagai mas kawin. Akan tetapi, melihat iman Studd, Priscilla pun ikut mempersembahkan uang yang diberikan kepadanya kepada orang lain.

Studd menikahi Priscilla dalam upacara yang dilakukan oleh seorang pendeta Tiongkok. Studd memiliki empat orang anak perempuan. Dua anak laki-laki juga sempat lahir bagi dia dan Priscilla tetapi dua-duanya meninggal pada masa bayi. Studd percaya bahwa Allah telah memberinya anak perempuan untuk mendidik orang Tiongkok tentang nilai bayi perempuan.

Karena kesehatan yang memburuk, Studd harus pulang dari Tiongkok ke Inggris pada tahun 1894. Pada tahun 1900, Studd pindah ke India untuk menjadi pendeta. Pengalamannya di India begitu berbeda dengan apa yang dia alami di Tiongkok. Begitu banyak orang, dari serdadu Inggris sampai orang-orang India, datang kepada Kristus dan bertobat. Selama enam tahun dia melayani di India. Ketika kembali ke Inggris, Studd bertemu dengan seorang misionaris dari Jerman yang menceritakan tentang Afrika. Tuhan menaruh beban dalam hatinya untuk memberitakan Injil di Afrika. Pada tahun 1910, dia berangkat ke Sudan dan mendirikan Heart of Africa Mission.

Pada tahun 1913, Studd berangkat ke Kongo-Belgia walaupun dokter tidak mengizinkannya. Dia mendirikan beberapa pangkalan misi dan melayani paling sedikit 8 suku yang berbeda. Setelah sembuh dari penyakitnya, Priscilla mengikuti suaminya pada tahun 1916. Anaknya Pauline bersama dengan menantunya Norman Grubb juga melayani bersama-sama di Afrika. Mereka beserta teman-teman sepelayanan mereka mendirikan Worldwide Evangelisation Crusade (WEC) yang menjangkau orang-orang di Amerika Latin, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika.

Ketika Studd diminta untuk pulang dan tidak melayani lagi, dia menjawab, “God has called me to go, and I will go. I will blaze the trail through my grave may only become a stepping stone that younger men may follow.”

Didukung oleh istrinya, Studd membangun sebuah badan misionaris yang luas yang berpusat di Ibambi (Kongo-Belgia). Pada tahun 1929, Priscilla meninggal dunia. Dua tahun kemudian, ketika Studd masih terus bekerja bagi Tuhan pada usianya yang ke-70, dia meninggal dunia karena penyakit yang menyerang empedunya. 

Visinya untuk Tiongkok, India, dan Afrika dilanjutkan oleh Norman Grubb, menantunya, yang menjadi ketua WEC. Charles Thomas Studd mulai melayani di Tiongkok sejak masa mudanya selama 15 tahun, di India selama 6 tahun, dan melayani Afrika lebih dari 20 tahun. Dia meninggalkan segala kekayaan dan kenikmatan hidup di Inggris untuk melayani Yesus yang sudah menebusnya. Dia menulis: “Only one life, so soon it will pass Only what’s done for Christ will last Only one chance to do His will So give to Jesus all you days It’s the only life that pays When you recall you have but one life”

Disadur dari Sekilas KIN Pemuda 2015 Edisi 2