The Prince of Preachers

Charles Hadden Spurgeon (1834-1892)

The Prince of Preachers

10 August 2015

“Let us think little of ourselves, dear congregation, But let us never think little of our callings.” – Charles Haddon Spurgeon’s last sermon, Metropolitan Tabernacle, 1891

“Mari kita berpikir sesedikit mungkin tentang diri kita sendiri, jemaat yang terkasih, Tetapi kiranya kita tidak hanya berpikir sedikit tentang panggilan hidup kita.” – Khotbah terakhir Charles Haddon Spurgeon, Metropolitan Tabernacle, 1891

“Bayangkan sebuah lubang, anak muda, lubang yang sangat gelap, lubang yang tak berdasar, orang dapat terjatuh ke dalamnya selama ribuan tahun dan tetap terus terjatuh; Tidak ada yang dapat kau lihat sebab di sana begitu gelap, Orang hanya bisa terus jatuh, jatuh, dan jatuh semakin dalam…”

Charles Spurgeon kecil berumur 5 tahun saat itu, matanya terbelalak, ketakutan mendengar cerita kakeknya tentang lubang itu.

“Siapa yang jatuh ke dalam lubang itu, Kek?” tanya Spurgeon kecil.

“Mereka yang tidak mengenal Tuhan akan jatuh ke sana waktu mereka meninggal. Mereka yang tidak percaya kepada-Nya, tidak mengasihi-Nya, dan tidak melayani-Nya ketika mereka hidup; Mereka jatuh menjauh dari Tuhan untuk selama-lamanya”, jawab kakeknya.

“Aku tak mau jatuh ke sana! Aku takut ketinggian!”

“Tentu, cucuku. Tuhan mempunyai rencana yang besar untukmu. Ia akan membawamu mengasihi Dia, Ia akan membuatmu menjadi pengkhotbah yang baik, bagi firman-Nya. Engkau akan Ia pakai untuk memenangkan banyak jiwa bagi Kerajaan Allah, banyak kehidupan akan diubahkan melalui hidupmu.”

Malam itu Spurgeon kecil tak bisa tidur, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia tak mau hidup tanpa Tuhan, ia tak mau selama-lamanya dipisahkan dengan Allah! Seiring dengan matanya yang semakin menutup, Spurgeon kecil berbisik, “Tuhan, tolong aku.”

***

19 Juni 1834 di desa kecil Kelvedon, Inggris, Charles Haddon Spurgeon terlahir ke dalam sebuah keluarga Kristen yang sangat mengasihi Tuhan. Kakek dan ayahnya adalah pendeta, pengkhotbah firman yang setia pada masa itu. Salah satu saudaranya, Job Spurgeon, pernah dipenjarakan dan hampir mati kedinginan karena menolak ajaran sesat dan memilih untuk bersaksi bagi Alkitab, firman Tuhan yang diimaninya.

Hidup di dalam keluarga Kristen yang demikian tidak otomatis membuat Charles menghadapi hidup yang mudah, ia menemukan banyak dosa di dalam dirinya. Terlalu sering ia memilih untuk melakukan yang salah daripada yang benar. Terkadang ia mencoba untuk melakukan yang baik, tetapi akhirnya melakukan apa yang jahat. Di waktu lain ia ingin mengutarakan apa yang benar, tetapi akhirnya ia berbohong. Ia mencoba untuk menjadi orang yang baik, tetapi terkadang justru bersikap buruk pada orang lain. Charles Spurgeon merasa dirinya seperti tawanan, ia tidak mampu melepaskan diri dari belenggu kejahatan yang sebenarnya tidak ia inginkan. Seperti yang rasul Paulus katakan, ia terus melakukan apa yang ia benci.

“Apa yang harus aku lakukan supaya aku diselamatkan?” pertanyaan itu terus menggelisahkan hati Spurgeon, membuat hidupnya tak bisa tenang.

Sebuah hari Minggu di musim dingin ketika ia berumur 15 tahun, Charles berjalan sendirian, terseok-seok karena kakinya terendam di dalam salju. Tubuhnya menggigil, hatinya gelisah, sesungguhnya selama ini Gereja sudah menjadi begitu kering baginya. Ia telah mendengar banyak khotbah, tetapi sepertinya tak ada yang dapat menghentikan desakan rasa bersalah itu dalam hatinya, ia lelah. Ia lelah dengan hidupnya, ia lelah dengan gereja, ia hanya ingin mencari jawaban; Apa yang harus ia lakukan supaya ia diselamatkan?

Ya, hari ini ia ingin memberi satu kesempatan lagi pada gereja, untuk menjawab pertanyaannya. Demi jawaban itu, ia rela menerjang badai salju ini. Melihat setiap butir salju yang jatuh membuatnya teringat akan setiap butir dosa yang ia biarkan mendarat di dalam hidupnya. Ia berjalan bermilmil, kemudian tersadar, ia tersesat! Ia melihat sekeliling, tidak ada apa pun yang dikenalinya. Salju telah menutup semuanya dan ia telah mengambil jalan yang salah. “Di mana aku?” Charles bertanya pada dirinya sendiri. Dinginnya badai salju terasa semakin menusuk tubuhnya yang ketakutan. “Oh, Tuhan, jika kau sungguh ada, tolong aku!”

Kemudian tiba-tiba ia mendengar suara nyanyian, di depan matanya ada sebuah tiang tertutup salju. Sebuah gerbang? Ia melangkah menuju gerbang dan suara itu. Sulit dipercaya bahwa ketersesatannya membawanya menemukan apa yang memang ia cari, sebuah gereja! Memang bukan gereja yang biasa didatanginya, tetapi itu tetaplah sebuah gereja. “Mungkin aku bisa menemukan jawabanku di sini?” Charles masuk ke dalam gereja yang tak ia kenal itu dan duduk di dalam.

Charles Spurgeon merasa tak nyaman, orang-orang di sini bernyanyi keras sekali sampai rasanya ia tak bisa mendengar dirinya sendiri bernyanyi. Selesai bernyanyi, mereka duduk dalam diam. Beberapa menit berlalu. “Tak ada harapan,” pikir Spurgeon. “Bahkan tak ada pengkhotbah yang datang di tengah badai salju seperti ini!”

Menyadari pendeta mereka tak datang dan mungkin terjebak di dalam salju, tiba-tiba seorang pembuat sepatu berdiri dan maju ke mimbar. “Mari kita membuka kitab Yesaya,” kata si pembuat sepatu itu. Semua orang membuka Alkitabnya. Charles tertawa sendiri di kursinya, seorang pembuat sepatu tak terpelajar berdiri menggantikan tempat pendeta. “Apakah ini lelucon? Ia bahkan tak bisa melafal bacaannya dengan benar!” Memakai kembali mantelnya, Charles berdiri untuk berjalan pulang.

“Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain,” kata pembuat sepatu itu, membaca dari Yesaya 45:22.

Langkah Charles terhenti, “Apa katanya barusan?”

“Hai, anak muda!”, kata pembuat sepatu itu dengan lantang. Charles membalik tubuhnya dan melihat pembuat sepatu itu menunjuk dirinya! “Hai, anak muda, kau terlihat begitu menyedihkan!” katanya melanjutkan. Charles tahu pembuat sepatu itu benar, ia terlihat menyedihkan. Kaget dan bingung, ia duduk kembali di kursinya. “Dan kau akan selama-lamanya menyedihkan jika kau tidak menaati apa yang saya baca barusan! Melihat bukanlah kesulitan besar! Engkau tidak perlu berpendidikan tinggi untuk memandang! Kau bisa saja orang paling bodoh di dunia, tetapi kau tetap bisa memandang! Semua orang, bahkan anak kecil dapat memandang!”

Pengharapan mengisi hati Charles. Pembuat sepatu itu melanjutkan, “Tuhan berkata, berpalinglah kepada- Ku! Pandanglah Aku! Pandanglah Aku; Aku meneteskan darah untukmu. Pandanglah Aku; Aku digantung di atas kayu salib! Pandanglah Aku; Aku mati dan dikuburkan. Pandanglah Aku; Aku bangkit dari kematian. Pandanglah Aku; Aku naik ke Sorga. Pandanglah Aku; Aku duduk di sebelah kanan Bapa. O, orang berdosa yang menyedihkan, pandanglah Aku! Pandanglah AKU!” Untuk pertama kali di dalam hidupnya, Charles Haddon Spurgeon berpaling dan memandang. Berpalinglah kepada- Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan! Ia memandang! Ia memandang! Badai di dalam hatinya tiba-tiba berhenti, hujan dan angin tidak lagi dapat menahannya dari kebenaran itu. Charles Spurgeon berpaling, memandang kepada Allah, dan menyadari bahwa Allah memandangnya kembali. Akhirnya, firman Allah dan kekuatan Roh Kudus masuk ke dalam hati dan pikiran Spurgeon muda. Untuk pertama kalinya, segala sesuatu menjadi jelas, terang, dan masuk akal. Dosanya yang kotor dicuci bersih, Spurgeon menyerahkan dirinya kepada Tuhan Yesus. Sebuah senyum damai terbentuk di wajahnya.

***

Sejak hari yang mengubahkan pada masa remajanya itu, Charles Spurgeon menjadi orang yang senantiasa mengisi dirinya dan mengisi orang lain dengan firman Tuhan. Khotbah pertamanya disampaikan pada tahun 1851, di usia 17 tahun. Tahun 1852, ia telah menjadi pendeta di sebuah gereja di Cambridgeshire, Waterbeach. Ia mengkhotbahkan firman Tuhan yang dicintainya dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati kepada orang-orang di sekitarnya. Ratusan, bahkan ribuan orang dapat berkumpul di lapangan rumput terbuka untuk mendengar ia berkhotbah, seorang pengkhotbah yang mengkhotbahkan firman dengan begitu jelas dan berkuasa, pengkhotbah yang penuh dengan Roh Kudus! Di kemudian hari, ia diberi sebutan Prince of Preachers (pangeran dari pengkhotbah-pengkhotbah) karena kuasa Tuhan yang besar begitu menyertainya di dalam setiap khotbah yang ia sampaikan.

Di usia 19 tahun, 4 tahun setelah pertobatannya, Spurgeon dipanggil menjadi pendeta muda di New Park Street Chapel, gereja Baptis terbesar di kota London pada masa itu.

Charles Spurgeon adalah seorang Baptis dan seorang Calvinis, ia sering berkhotbah kepada lebih dari 10.000 orang. Bayangkan, pada masa itu belum ada pengeras suara seperti yang kita miliki hari ini; Spurgeon harus berkhotbah sedemikian lantang! Pendengarnya sering kali meluap melebihi kapasitas gedung yang saat itu mereka pakai sebagai tempat Spurgeon berkhotbah. Suatu kali dikarenakan banyaknya jumlah pendengar yang melebihi daya tampung gedung, balkon gedung tersebut rubuh, melukai dan membunuh puluhan jemaat yang ada di bawahnya. Kejadian ini sempat membawa Spurgeon ke dalam depresi besar yang sampai akhir hidupnya tetap menjadi luka dalam hatinya.

Akhirnya pada tahun 1861 dibangunlah tempat permanen yang cukup besar untuk menampung seluruh jemaat, tempat itu dinamai Metropolitan Tabernacle, di Elephant and Castle, Southwark, Inggris. Tempat duduknya dapat menampung 5.000 orang, dengan tempat untuk berdiri yang juga dapat menampung ribuan orang sisanya.

Tahun 1856, Charles Haddon Spurgeon menikahi Susannah Thompson, yang dipanggilnya Susie, dan dengannya mempunyai dua putra kembar, Charles dan Thomas Spurgeon. Susannah setia mendampinginya dan menjadi penolongnya sampai akhir hidupnya. Khotbah terakhir dari Prince of Preachers ini disampaikan di Metropolitan Tabernacle pada tahun 1891, ketika itu kesehatannya sudah sangat buruk, ia menderita rematik dan penyakit ginjal. Charles Spurgeon mengetahui bahwa khotbah hari itu, 7 Juni 1891, akan menjadi khotbah terakhirnya. Di dalam khotbah terakhirnya itu ia mengkhotbahkan tentang Yesus Kristus, tentang keselamatan dan pengharapan yang diberikan-Nya kepada orang yang memandang kepada-Nya, tentang hidup dalam persekutuan dengan Yesus Kristus, tentang saat kematian yang akan menjadi bagian yang paling manis dari kehidupan orang-orang Kristen sejati. Mengapa? Karena saat kematian adalah saat di mana orang Kristen akan bertemu dengan Yesus Kristus, dan saat seluruh dosa akan sungguh-sungguh dibersihkan dari dirinya. “Sebelum hari itu tiba,” Spurgeon mengatakan, “Jangan pernah lupa bahwa kita adalah pengembara di dalam dunia ini, kita berada di dalam perjalanan menuju kepada Yesus Kristus, tetapkan pandangan kita kepada-Nya. Dan ketika di dalam hidup kita berjalan di dalam lembah kekelaman yang gelap, ingatlah bahwa kita melayani Allah dari segala terang...”

Charles meninggal 1 Januari 1892 karena penyakit yang dideritanya, dengan istrinya di sisinya. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia berbisik, “Istriku, aku telah menjalani waktu hidup yang begitu diberkati. Pekerjaanku sudah selesai. Aku telah menyelesaikan pertandinganku dengan baik, aku telah memelihara iman.” Pukul sebelas lewat lima, sang pengembara akhirnya pulang ke rumah, rumah Tuhannya. Ribuan jemaat hadir dalam pemakamannya. Ia dimakamkan dengan batu nisan yang sederhana, tidak ada kemewahan di pusaranya, sesuai dengan permintaannya.

Disadur dari Sekilas KIN Remaja 2015 Edisi 1