Robert Alexander Jaffray
Sejak muda Jaffray sudah merasakan panggilan menjadi misionaris. Ayahnya adalah seorang senator di Kanada dan pemilik surat kabar yang berpengaruh, Toronto Globe (sekarang Toronto Globe and Mail) yang akan mewariskan perusahaannya ini kepada anaknya. Setelah pertemuan dengan A. B. Simpson, pendiri Christian and Missionary Alliance (C&MA), ia memutuskan untuk masuk sekolah misi di New York untuk mempersiapkan pelayanan misinya ke Tiongkok. Ayahnya tidak setuju dengan keputusannya menjadi seorang misionaris. Namun, Jaffray tetap melanjutkan tekadnya melayani Tuhan tanpa dukungan keuangan dari ayahnya dan berangkat ke Tiongkok pada tahun 1897 beberapa bulan sebelum memasuki usia 24 tahun.
Jaffray diutus C&MA dari Kanada sebagai misionaris yang akan melayani di Wuzhou,Guangxi, di bagian selatan Tiongkok. Setelah 32 tahun di Wuzhou, ia berhasil mendirikan gereja, panti asuhan, sekolah Alkitab, dan lembaga penerbitan, The South China Press yang menerbitkan Majalah Alkitab (The Bible Magazine) yang dikenal sampai seluruh Asia, khususnya komunitas yang berbahasa Kanton (Cantonese) sehingga nama Jaffray terkenal di dunia komunitas Tionghoa. Kisah sukses misi Jaffray masuk sampai ke Vietnam (dulu dikenal dengan Indo-China) pada tahun 1916. Sampai saat ini gereja-gereja C&MA adalah salah satu gereja Protestan terbesar di Vietnam.
Jaffray juga merasakan panggilannya untuk melayani di Indonesia, terutama di Borneo (sekarang Kalimantan) dan Sulawesi. Visi Jaffray untuk Indonesia adalah menjangkau dunia untuk Tuhan melalui penginjilan, pendidikan, dan penerbitan. Ia akhirnya menjejakkan kakinya di Indonesia pada tahun 1928.
Melalui badan misi yang didirikannya, Chinese Foreign Mission Union (CFMU), ia mulai pelayanannya di Indonesia dan menjadikan Sulawesi Selatan basis pelayanannya. Dalam waktu yang tidak begitu lama, gereja bertumbuh dengan pesat di Kalimantan Timur. Pada Januari 1932, ia meresmikan berdirinya Sekolah Alkitab Makassar (SAM), yang sekarang dikenal dengan STT Jaffray. Tujuannya adalah untuk melaksanakan misi Amanat Agung Kristus kepada dunia bagi kemuliaan Allah.
Ketika tentara Jepang mulai menyerang Asia Tenggara pada tahun 1942, Jaffray dan keluarganya sedang berada di Baguio, Filipina, menunggu untuk berangkat ke Kanada. Saat itu mereka mempunyai pilihan untuk tetap berangkat ke Kanada atau kembali ke Indonesia. Jaffray memilih untuk kembali ke Makassar. Jaffray beserta Minnie, istri, dan Margaret, anaknya, ditangkap dan dikenai tahanan rumah oleh tentara Jepang selama setahun. Kemudian Jaffray dipindahkan ke dalam kamp tawanan pria di Pare-Pare. Menurut kesaksian Randall Whetsel, teman sepenjaranya, Jaffray tetap sibuk menerjemahkan buku-buku dan tafsiran-tafsiran yang telah dia tulis dalam bahasa Tionghoa ke dalam bahasa Inggris dengan harapan bahwa setelah perang berakhir bukunya akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tentara Sekutu menyerang Pare-Pare sehingga tentara Jepang terpaksa memindahkan para tawanan ke kamp baru yang kondisi lebih buruk. Dalam waktu singkat, Jaffray bersama dengan sebagian tawanan terkena wabah disentri. Jaffray akhirnya meninggal dalam kondisi yang sangat tragis pada tanggal 29 Juli 1945. Ia dikuburkan di kota Makassar.
Jejak-jejak yang ditinggalkannya adalah pertumbuhan ribuan gereja berkat pelayanannya di Indonesia. Setidaknya ada tujuh sinode gereja yang lahir secara langsung dari pelayanannya bersama tim misi C&MA dan CFMU. Generasi muda perlu terus mengenal pelayanan Dr. Jaffray dan belajar untuk melaksanakan tugas misi dunia yang belum selesai. (JES)