The Man of God

Aiden Wilson Tozer (1897-1963)

The Man of God

10 August 2015

“No man should desire to be happy who is not at the same time holy. He should spend his efforts in seeking to know and do the will of God, leaving to Christ the matter of how happy he should be.”

(Seharusnya tidak seorang pun menginginkan kebahagiaan jika tidak pada saat yang sama hidup dengan suci. Ia seharusnya memakai segala usahanya untuk mengetahui dan melakukan kehendak Allah, menyerahkan kepada Kristus persoalan mengenai seberapa bahagia ia seharusnya.)

Kalimat di atas diucapkan oleh seorang hamba Tuhan yang menyerahkan hidupnya kepada Tuhan dalam masa remajanya. Beliau adalah seorang Kristen yang juga dikenal karena kesungguhannya dalam kehidupan spiritualnya dan keseriusannya dalam berdoa. Beliau menulis lebih dari 30 buku yang menjadi inspirasi dan kekuatan bagi banyak orang Kristen lainnya sepanjang sejarah. Beliau bernama Aiden Wilson Tozer, yang sering disingkat menjadi A. W. Tozer.

Tozer dilahirkan di pegunungan Pennsylvania, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1897. Dilahirkan di keluarga yang miskin dan pekerja keras, membentuk Tozer menjadi orang yang memiliki semangat bekerja keras semenjak ia masih kecil. Sayang, ayah Tozer bukanlah orang beragama dan keluarganya tidak pernah mengikuti ibadah di gereja. Tetapi kehidupan Tozer yang tanpa Tuhan ini mulai berubah ketika suatu hari keluarganya ditimpa kemalangan. Seluruh rumah keluarga Tozer beserta isinya terbakar ketika Tozer berumur 10 tahun. Ini mengakibatkan keluarga Tozer terpaksa pindah ke Akron, Ohio, di mana Aiden mengikuti kakaknya bekerja di sebuah pabrik ban. Di kota inilah A. W. Tozer, yang belumlah berumur 17 tahun, bertemu dengan Tuhan. Ia sedang berjalan pulang dari pekerjaannya di pabrik ban ketika ia mendengar seorang pengkhotbah jalanan berseru, “Jika kau tidak tahu caranya diselamatkan… panggillah Tuhan dan katakan: Ya Tuhan, berbelas kasihanlah pada hamba ini, seorang pendosa!” Kalimat pengkhotbah jalanan tersebut sangat membekas di hatinya, sehingga sesampainya di rumah, Aiden segera naik ke loteng. Ia berlutut, berdoa memanggil Tuhan, meminta diselamatkan, dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan.

Lima tahun kemudian, Tuhan memakai A. W. Tozer, seorang pemuda yang tidak memiliki pendidikan theologia formal – bahkan hanya duduk 8 tahun di bangku sekolah, untuk melayani sebuah jemaat gereja kecil di Nutterfort, Virginia Barat. Inilah permulaan pelayanan A. W. Tozer dan istrinya di The Christian and Missionary Alliance.

Pada tahun 1928, Tozer diminta untuk berkhotbah di gereja yang bernama The Southside Alliance Church di Chicago. Awalnya ia enggan untuk meninggalkan jemaatnya di Indianapolis tetapi setelah khotbahnya yang pertama, Tozer merasa Tuhan memang menghendakinya untuk menggembalakan jemaat di Chicago tersebut. Tozer akhirnya memutuskan untuk melayani gereja tersebut dan pelayanannya di sana berlangsung selama 30 tahun. Jemaat gereja tersebut hanya sekitar 80 orang ketika Tozer pertama kali berkhotbah di sana, namun khotbahnya begitu menarik perhatian jemaat, sehingga pada tahun 1941 gereja tersebut harus memperluas bangunannya agar dapat menampung 800 jemaat.

Sepanjang pelayanannya, A. W. Tozer sangat mengandalkan pimpinan Tuhan. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk berdoa dan mencari kebenaran dalam firman Tuhan. Tozer sering kali berkata, “As a man prayed, so is he.” Tozer berpendapat bahwa keberadaan seseorang ditentukan oleh kehidupan doanya. Tozer sendiri sangat terkenal dengan kehidupan doanya yang sangat serius. Kehidupan spiritualnya yang sangat kuat ini terpancar pula dalam tulisan-tulisannya. Dalam tulisannya, Tozer menekankan pentingnya ibadah dan relasi dengan Tuhan dalam perjalanan hidup seorang Kristen.

Kalimat-kalimat yang ditulis Tozer, baik dalam buku-bukunya maupun khotbahnya, dapat menggerakkan begitu banyak orang Kristen, bukan saja karena maknanya yang begitu dalam, namun juga karena penggunaan kata dan gaya tulisannya yang sangat hidup, jelas, dan menarik. Walaupun tidak mengecap pendidikan formal yang cukup, Tozer – yang biasa bekerja keras, mendidik dirinya sendiri untuk membaca karya-karya klasik dalam bidang sastra, filsafat, literatur, serta bapa-bapa gereja dan mistik-mistik Kristen yang agung. Selain banyak menghabiskan waktu untuk membaca, Tozer menghabiskan lebih banyak waktu lagi untuk merenungkan apa yang telah dibacanya. Ia sering mengatakan, “Saya tidak mengizinkan siapa pun memasang kaca matanya pada saya dan memaksa saya untuk melihat segala sesuatu seperti yang ia lihat… Engkau harus berpikir 10 kali lipat lebih banyak daripada yang engkau baca.”

Tetapi Tozer tidak pernah mengandalkan kepandaian atau pikirannya sendiri untuk memahami tulisan orang-orang agung tersebut. Sebelum membaca sebuah karya agung dari Shakespeare, Tozer akan menekuk lututnya terlebih dahulu untuk berdoa, memohon agar Tuhan memberi pengertian yang benar akan karya tersebut. Hal demikian ia lakukan pula sebelum membaca karya literatur lainnya. Tozer juga tidak pernah membaca hanya demi membaca itu sendiri. Ia menganggap setiap buku yang ia baca haruslah menuntun ia lebih dekat dalam pencariannya akan Allah.

Kurangnya pendidikan formal tidak dapat menghalangi karya Allah yang luar biasa dalam diri Tozer, sehingga dunia akademik pun mengakui kualitas dari karya tulis dan pelayanan khotbah Tozer. Pada tahun 1950, Wheaton College memberikan gelar doktor kehormatan “Doctor of Letters” (setara dengan, bahkan mungkin melampaui gelar Ph.D) kepada Tozer. Pada tahun yang sama, Tozer diminta mengisi posisi sebagai editor dalam sebuah terbitan mingguan Injili “Alliance Weekly” (yang sekarang disebut Alliance Life). Dengan kemampuan menulisnya, jumlah penerbitan majalah tersebut bertambah dua kali lipat. Dikatakan bahwa banyak orang berlangganan terbitan tersebut khusus untuk membaca tulisan-tulisan Tozer yang sangat inspiratif dan berpusat pada Injil Kristus. Dua tahun kemudian, Houghton College juga memberikan gelar doktor kehormatan lainnya pada Tozer. Dari 30 buku yang ditulisnya, dua karyanya, “The Pursuit of God” dan “The Knowledge of the Holy” kemudian menjadi karya tulis Kristen klasik lainnya, berdampingan dengan karya-karya klasik yang pernah dipelajarinya secara otodidak.

Pada tahun 1951 sampai 1959, Tuhan memperluas pelayanan Tozer, dari menulis dan berkhotbah, kepada pelayanan berbasis radio. WMBI, stasiun radio Moody, menyiarkan program mingguan yang berasal dari studi gerejawi Tozer. Selain itu, Tozer juga melayani seminari-seminari terdekat yang ada di sekitarnya. Kesenangannya untuk menginjili juga membawanya berkeliling ke banyak kota untuk berkhotbah pada Kebaktian-kebaktian Kebangunan Rohani.

Walaupun dipandang sebagai tokoh yang mewakili kaum Kristen Injili, gaya hidup dan hati Tozer sangat dekat dengan kaum mistik. Di tengah kesibukannya dalam berbagai pelayanan, Tozer tidak pernah melupakan relasinya dengan Tuhan. Bahkan bagi Tozer, doa dan kedekatannya dengan Tuhan merupakan sumber inspirasinya. Kawan dekatnya, Francis Chase, bersaksi, “Ia (Tozer) pernah berkata kepadaku bahwa ia sering pergi ke bagian atas gereja yang tinggi untuk menulis sebuah artikel majalah. Ia berkata bahwa hati dan pikirannya sama keringnya dan tanpa inspirasi, seperti sebuah kerikil yang terbakar. Lalu ia akan membuka Alkitabnya, atau mungkin sebuah buku pujian, berlutut pada sebuah sofa tua, mengambil pensil, dan kemudian Roh Kudus akan mendatanginya.... Untuk bisa mengejar kecepatan aliran yang membanjiri jiwanya tersebut, ia harus menulis dengan sangat cepat. Dalam suatu waktu itu, 4 atau 5 artikel akan diselesaikannya sekaligus.” Dalam berbagai tulisan dan khotbahnya, Tozer sangat menekankan perenungan akan hal-hal ilahi yang menghasilkan suatu kehidupan Kristen yang sadar akan kehadiran Allah di setiap aspeknya.

Tozer bertemu dengan Tuhan, yang selama hidupnya terus dirindukannya dan yang telah dilayaninya selama 44 tahun dengan setia, pada bulan Mei 1963 di usianya yang ke-66. Di akhir hidupnya, Tozer berkata, “Saya menemukan bahwa Allah adalah Allah yang sangat baik dan murah hati – dalam segala hal, sangat mudah untuk hidup bersama-Nya.” Tozer bukanlah manusia yang sempurna. Sama seperti manusia berdosa lainnya, ia memiliki banyak kelemahan dan dosa. Namun, sama seperti para martir, reformator, misionaris, dan hamba Tuhan sepanjang sejarah, Tozer sejak usia remaja telah memilih jalan yang terbaik – jalan yang juga ditapaki oleh para nabi dan rasul: jalan bersama dengan Allah.

Disadur dari Sekilas KIN Remaja 2015 Edisi 2