Ayat 3 mengatakan bahwa anak-anak Samuel tidak hidup seperti Samuel. Mereka menjadi hakim yang korup. Tetapi, berbeda dengan Eli, Samuel sendiri tetap hidup mengikuti Tuhan dengan segenap hati. Betapa menakutkannya hal ini! Samuel pun tidak sanggup mewariskan iman dan ketaatannya kepada anak-anaknya. Sungguh, jika seorang anak memperoleh keselamatan dan hidup yang berkenan kepada Tuhan, itu adalah anugerah semata. Tetapi mengatakan bahwa semua adalah anugerah semata tidak meniadakan tanggung jawab kita untuk mendidik dengan sebaik mungkin. Jika seseorang membimbing anak dengan segala bijaksana dan teladan, ditambah dengan doa dan air mata, keberhasilan sang anak menjadi orang benar tetap adalah anugerah semata. Tetapi orang itu akan mendapatkan bahagia miliknya dari Tuhan karena ketekunannya menjalankan kepercayaan dari Tuhan untuk mendidik anak. Tetapi jika seseorang gagal menjadi teladan dan tidak pernah menjalankan kebenaran, maka rusaknya anak akan dituntut dari orang tua sedemikian. Sebaliknya, jika ada orang tua yang sungguh-sungguh takut akan Tuhan, mengerjakan segala yang diperlukan untuk menjadi orang tua yang benar dan bijak, tetapi ternyata anaknya menyimpang, maka ini akan menjadi dukacita yang sangat besar. Terkadang Tuhan tidak membukakan alasan mengapa orang yang benar dan sungguh-sungguh menjadi teladan diberikan anak yang sampai akhir hidupnya tidak juga percaya. Tetapi apa yang bukan bagian kita tidak perlu kita terus korek karena tidak akan berguna (Ul. 29:29). Yang Tuhan nyatakan adalah bahwa Dia menuntut kesetiaan dan kesungguhan hidup untuk menjadi teladan bagi setiap orang tua yang dipercayakan membimbing anak.
Fakta ketidakberesan anak-anaknya diterima oleh Samuel. Dia tidak membela diri ketika rakyat Israel menyatakan keberatan mereka atas cara anak-anaknya bertindak sebagai hakim (ay. 5 dan 6). Samuel menyatakan segala sakit hatinya kepada Allah. Tetapi firman Allah yang dinyatakan-Nya kepada Samuel menunjukkan bahwa Allah tetap berkenan kepada Samuel. Allah membela Samuel dan menyatakan bahwa memang Israel selalu memberontak kepada otoritas Allah (ay. 7 dan 8). Pemberontakan kepada otoritas Allah ini terjadi karena mereka memang lebih senang beribadah kepada ilah-ilah lain. Sebab jika otoritas Allah ditolak, bukankah ini berarti harus ada “ilah” yang lain menggantikan posisi Allah yang sudah ditolak itu? Alasan mereka meminta seorang raja pun tidak lepas dari keinginan untuk bebas dari otoritas Allah. Apakah Samuel pernah bersalah kepada mereka? TIDAK (1Sam. 12:3-5). Jika keberatan Israel adalah karena anak-anak Samuel sudah korupsi dan terima sogokan, mengapa tidak meminta untuk menurunkan mereka? Mengapa harus minta seorang raja? Mengapa tidak minta seorang hakim yang lain supaya melalui dia Tuhan tetap memerintah Israel? Mengapa harus ada raja? Karena orang Israel tertarik dengan gaya hidup bangsa-bangsa lain! Sama seperti sekarang banyak orang Kristen tertarik dengan cara hidup dunia. Gereja-gereja memasukkan band elektrik, bahkan musik-musik mirip diskotek karena tertarik dengan cara hidup dunia. Gereja-gereja sedemikian benar-benar perlu bertobat! Mengapa kilauan dunia lebih menarik daripada kesucian dan kebenaran Tuhan? Orang Israel tertarik dengan bangsa-bangsa lain. Itu sebabnya permintaan Israel untuk adanya seorang raja sebenarnya menyakiti hati Tuhan.
Tetapi adanya seorang raja sebenarnya termasuk di dalam rencana Allah. Sebab bukankah Dia sendiri yang menyatakan melalui nubuat Yakub bahwa akan ada raja yang muncul (Kej. 49:10)? Bukankah Dia sendiri yang menyatakan bahwa Dia akan mengangkat seorang raja bagi Israel (Ul. 17:14-15)? Jikalau Tuhan memang berkehendak mengangkat seorang raja, berarti permintaan Israel seturut dengan kehendak Allah, bukan? Secara fenomena ya. Sepertinya permintaan itu memang sesuai. Tetapi Allah melihat hati (1Sam. 16:7). Allah mengetahui motivasi seseorang dan akan memuji atau merendahkan orang tersebut berdasarkan apa yang terkandung di dalam hatinya. Jangan sesat! Allah tidak akan mungkin dipermainkan oleh siapa pun juga (lihat Gal. 6:7). Manusia dengan gampang ditipu oleh kepura-puraan manusia lain. Manusia dengan berani menipu manusia lain karena tidak seorang pun bisa melihat motivasi di dalam hatinya. Tetapi siapakah yang bisa mengelabui Tuhan? Israel meminta raja. Secara fenomena ini baik. Anak-anak Samuel sudah mengecewakan mereka dan, berdasarkan Ulangan 17, Tuhan memang akan mengangkat raja. Wah, alangkah rohaninya Israel… tetapi Tuhan malah menyatakan, “tepat seperti hari Aku menuntun mereka dari Mesir, demikian sekarang mereka meninggalkan Daku dan beribadah kepada Allah lain…” (lihat ay. 8). Mereka meminta atas dorongan keinginan bebas dari otoritas Allah dan ingin sama dengan bangsa-bangsa lain.
Tetapi kalau begitu, mengapa Tuhan mengatakan kepada Samuel untuk mendengarkan mereka (ay. 7)? Di tengah-tengah segala intrik manusia dan manuver-manuver untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, kedaulatan Tuhanlah yang pada akhirnya terlaksana. Tuhan akan memberikan seorang raja, tetapi raja yang kedua, yaitu Daud yang dipilih Tuhan untuk menggembalakan Israel sebagai raja. Inilah hal yang sudah Tuhan nubuatkan dalam Kej. 49:10, yaitu bahwa raja akan muncul dari keturunan Yehuda. Apakah yang sebenarnya menjadi rencana Tuhan dengan mendengarkan Israel meminta raja? Tuhan sedang mengajar mereka bahwa raja yang seperti bangsa-bangsa lain hanya akan membinasakan Israel, tetapi raja pilihan Tuhan akan menjadi gembala bagi Israel. Maka Tuhan pun memilih Saul. Seorang yang akhirnya jatuh di dalam dosa gila kekuasaan. Sama seperti bangsa-bangsa lain! Raja-raja bangsa lain begitu gila kekuasaan. Mereka begitu takut kalau ada orang lain yang sanggup menggeser mereka sebagai raja. Israel mau raja seperti itu? Silakan! Tuhan pun memilihkan Saul. Seorang yang memenuhi semua syarat untuk jadi raja yang dikagumi secara dunia. Dia punya anak yang pemberani untuk meneruskan takhtanya, yaitu Yonatan. Dia punya tampilan fisik yang mengagumkan. Bahkan Tuhan pun menyertai dia pada periode awal pemerintahannya, yaitu sebelum dia memberontak kepada Tuhan. Tetapi di dalam hati Saul, ternyata terdapat kelicikan dan kejahatan begitu besar. Kejahatan untuk mempertahankan kekuasaan sebagai raja walaupun harus memberontak terhadap perintah Tuhan. Kelicikan untuk mempertahankan takhta walaupun harus membunuh orang dekatnya sendiri. Kejahatan dan kelicikan yang justru menjadi terlihat setelah dipercayakan Tuhan takhta kerajaan Israel!
Dan karena Israel ingin raja seperti bangsa-bangsa lain, Tuhan pun memberikan syarat seperti syarat raja bangsa-bangsa lain. Coba bandingkan ayat 11-18 dengan Ulangan 17:16-20. Syarat-syarat dari Samuel adalah hak bagi raja dan tekanan bagi rakyat. Inilah hal yang terjadi kepada bangsa-bangsa yang dikuasai oleh raja mereka. Mereka menjadi budak sang raja (lihat ay. 17). Tetapi Ulangan 17:16-20 justru membahas pembatasan hak bagi raja. Raja tidak boleh terlalu kaya. Raja tidak boleh banyak istri. Raja harus tunduk kepada Taurat. Betapa berbedanya dengan apa yang dinyatakan Tuhan melalui Samuel! Samuel menyatakan cara raja-raja bangsa-bangsa lain, sedangkan raja dalam kehendak Tuhan adalah seorang gembala yang mengasihi bangsanya dan memimpin mereka seperti gembala membimbing domba-dombanya. Siapa yang mau cara dunia ini, silakan saja. Tetapi sesungguhnya tidak ada cara yang lebih indah daripada cara Tuhan.
Mari renungkan satu hal saja pada hari ini. Biarlah ini terus kita pikirkan sepanjang hari ini. Apakah kita ingin sesuatu yang sama dengan yang dunia inginkan, ataukah kita menerima dengan penuh ucapan syukur apa yang Tuhan mau berikan berdasarkan kedaulatan-Nya? Israel mau cara bangsa-bangsa lain, maka mereka mendapatkan Saul, yang pada akhirnya menindas kebenaran. Tetapi cara Tuhan adalah Daud, yang menjadi gembala bagi Israel. Kiranya kita tidak disilaukan oleh cahaya palsu dunia ini, tetapi boleh terus bersukacita di dalam apa pun yang Tuhan berikan. (JP)