Pasal 17 ayat 40 mengatakan bahwa Daud mengambil beberapa batu untuk menjadi senjatanya. Dia mempersiapkan lima batu dengan iman bahwa Tuhanlah yang akan berperang bagi dia. Dia tidak menyerahkan kepada Tuhan dan tidak melakukan apa-apa sebagai persiapan. Dia memilih lima batu. Jika yang pertama gagal, masih ada empat batu yang lain sebagai senjata. Mempersiapkan diri dan mengandalkan Allah seharusnya berjalan secara bersama-sama. Ayat-ayat selanjutnya mengisahkan dialog Goliat dengan Daud di mana kalimat sangat indah dari Daud dicatat. Daud mengatakan bahwa dia datang dalam nama Tuhan semesta alam. TUHAN pemimpin ribuan pasukan malaikat! Inilah pernyataan iman yang sangat besar dari Daud. Dia memiliki pengakuan iman yang tepat dengan reaksi dan tindakannya. Mengakui Tuhan sebagai Panglima perang yang memiliki segala kekuatan di surga berjalan beriring dengan keberanian dia mendatangi Goliat dan menantang dia. Iman, pengakuan di mulut, dan tindakan dengan utuh menjadi satu di dalam diri Daud. Alkitab mengatakan bahwa Daud tergerak untuk melawan Goliat karena nama Allahnya dihina oleh raksasa itu. Inilah yang disebut dengan semangat untuk membela kekudusan Allah. Zeal, atau kegigihan yang menyala-nyala untuk Tuhan. Kegigihan yang sama juga terdapat pada Yosua dan Kaleb, para hakim Israel, dan juga Yonatan. Kegigihan ini jugalah yang membuat Paulus dan para rasul terus memberitakan Injil Tuhan. Di dalam seluruh Alkitab tercatat orang-orang dengan kegigihan yang seperti itu.
Daud gigih membela nama Allahnya. Karena itulah dia pergi berperang melawan Goliat. Apakah yang mendorong kita untuk melayani Tuhan? Apakah kegigihan untuk melawan Iblis dan menyatakan Injil Tuhan? Ataukah hanya aktivitas rutin yang secara mekanis kita kerjakan? Apakah pekerjaan kita dikerjakan dengan kegigihan menyatakan kebenaran dan kemuliaan Tuhan? Ataukah hanya sebatas usaha untuk memperoleh penghidupan saja? Daud menyatakan kegigihan yang besar untuk nama Tuhannya, maka seruannya pada ayat 45-46 menjadi proklamasi iman yang membangkitkan semangat seluruh orang Israel. Bagaimana dengan Saul? Pada saat Saul mementingkan dirinya sendiri, maka kegigihan untuk Tuhan menjadi habis sama sekali. Dan di mana kegigihan untuk Tuhan hilang, di situ inspirasi berhenti. Saul tidak lagi mampu menginspirasi orang Israel. Kegigihan memperjuangkan kesucian Allah dan ketulusan untuk mengasihi umat Tuhan, itulah yang membuat seorang raja menjadi agung.
Lalu ayat 47 menyatakan hal berikutnya mengenai keagungan karakter Daud. Apa yang dia perjuangkan hanya untuk membuktikan satu hal, yaitu supaya segenap jemaah tahu bahwa Tuhan menyelamatkan bukan dengan senjata manusia. Dia tidak bertarung untuk membuktikan diri. Dia tidak merasa perlu mengalami pembuktian yang menunjukkan pencapaiannya di mata seluruh umat Tuhan. Dia tidak sedang memamerkan kemampuan guna menunjang prestasinya. Sekarang begitu banyak orang yang sudah kehilangan arah dan mencari cara-cara pembuktian diri di depan masyarakat umum. Pencapaian dalam bentuk gajikah, atau pengakuan akademiskah, atau kemampuan diri yang mengungguli orang lain, semua dikejar untuk dipamerkan. Masyarakat kita sudah terjangkit sindrom minder diri yang begitu parah. Sebegitu kosongnya hidup kita sehingga kita berusaha memamerkan apa yang masih ada untuk bisa dipamerkan demi menutupi kekosongan itu. Coba pikirkan hal ini! Apa yang ingin kita capai? Untuk apa meraih segala prestasi? Untuk apa memamerkan segala kemampuan finansial yang berhasil diraih? Seribu satu macam alasan dapat kita kemukakan, tetapi jangan-jangan segala pencapaian itu justru untuk menutupi perasaan kosong dan tidak berarti yang kita miliki. Keadaan akan menjadi semakin parah ketika hiburan kosong – yang diberikan dunia untuk membuat kita merasa berarti – telah kita terima dengan senang hati. Hiburan yang berusaha membuktikan bahwa kita memang berarti dan berharga. Apakah sebenarnya yang dapat membuat kita merasa berharga? Hanya satu, yaitu berhenti terlalu memperhatikan diri sendiri. Berhenti terlalu memikirkan apakah saya sudah dihargai atau belum. Berhenti terlalu mengasihani diri dengan menjadikan diri sendiri korban yang harus diperhatikan dan ditolong. Dunia terlalu banyak menawarkan obat selfishness yang membuat kita makin gila dalam memperhatikan diri sendiri. Engkau kurang diperhatikan. Engkau kurang dihargai. Engkau kurang diperlakukan spesial. Akhirnya tipuan ini benar-benar kita percayai dan kita mulai merasa diri kita memang seharusnya diperlakukan dengan baik. Ketika kita menjadi konsumen, dunia ini menawarkan pengertian bahwa konsumen adalah raja dan ini sangat menyenangkan bagi kita. Ketika kita menjadi rakyat suatu negara demokratis, dunia ini menawarkan konsep bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Kita menganggap bangsa yang berhasil harus membuat kita sejahtera. Apakah yang salah dengan dunia semacam ini? Dunia semacam ini tidak bisa mencetak seorang yang bersemangat tinggi untuk berkorban dan mengejar suatu tujuan mulia. Dunia semacam ini tidak akan pernah bisa menghasilkan orang-orang yang bergiat untuk suatu tujuan di luar dirinya sendiri.
Kita harus prihatin dengan keadaan kita dan seluruh masyarakat di negeri kita. Semua begitu mudah menyalahkan orang lain dengan ukuran kesalahan mutlak pada peraturan ini, yaitu bahwa saya harus bahagia. Kalau saya gagal merasa bahagia, pasti yang salah adalah keadaan masyarakat, pemerintah, atau teori konspirasi yang mau menjatuhkan saya. Tetapi semua penyakit ini sebenarnya tidak akan sanggup memengaruhi hidup seseorang bila dia bergiat bagi Tuhan dan bila keinginan terbesarnya hanyalah untuk meninggikan nama Allah. Pertanyaan seperti, “seharusnya saya berbahagia, mengapa saya belum juga berbahagia?” atau “seharusnya saya diperlakukan istimewa, tetapi mengapa saya dianggap sebagai orang biasa sama seperti orang-orang lain?” tidak lagi menarik untuk dijawab oleh orang-orang yang bergiat bagi Tuhan. Dia tidak lagi menganggap perlu membuang-buang energi untuk hal yang baginya bukanlah prioritas sama sekali. Lalu apakah yang akan dianggap penting oleh orang-orang sedemikian? Orang-orang sedemikian mempunyai dorongan yang terus bersemangat bagi Tuhan sehingga dia lupa berjuang untuk hal yang lain lagi dengan kegigihan yang sama. Daud hanya menginginkan seluruh orang tahu bahwa Tuhanlah yang menolongnya. Itulah kerinduannya yang begitu besar.
Maka Tuhan menyertai Daud. Daud maju dan membunuh orang Filistin itu dengan cara yang sangat tidak biasa di dalam peperangan. Ayat 50 mengatakan bahwa Daud membunuh Goliat tanpa pedang di tangan. Daud mengimani hal ini (ay. 47) dan membuktikannya di dalam tindakan. Oh, betapa kita memerlukan orang-orang seperti ini! Orang-orang yang menghidupi imannya kepada Allah. Di dalam suatu pertemuan dengan hamba Tuhan dan majelis GRII, Pdt. Stephen Tong mengatakan, “My God is alive! That’s what I want to show you. The God of Abraham, the God of Moses, the God of David, is also my God! We’re doing mission impossible, He’ll make it possible! In more than 50 years of my life serving Him I have witnessed it again and again.” (Allahku hidup! Itulah yang saya ingin tunjukkan kepadamu. Allah Abraham, Allah Musa, Allah Daud, adalah juga Allahku! Kita melakukan hal yang mustahil, Dia yang akan membuatnya terjadi! Di dalam hidupku yang telah kuabdikan melayani Dia lebih dari 50 tahun, aku telah menyaksikannya lagi dan lagi.)
Mari kita renungkan hal ini bersama-sama:
Adakah perasaan giat dalam diri kita untuk memuliakan Tuhan? Perasaan giat yang bukan sekadar ada, tetapi sangat menyala-nyala dan sulit ditahan? Jika ada, tahukah kita bahwa untuk memuliakan Tuhan kita harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar yang mustahil terjadi? Jika kita tahu, sudahkah kita beriman bahwa Tuhan akan mengerjakannya? (JP)
“Expect great things from God. Attempt great things for God” – William Carey