Matinya Ahab

Reforming Heart - Day 111

1 Raja-raja 22:1-40

Matinya Ahab

Devotion from 1 Raja-raja 22:1-40

Salah satu ciri dari pemerintahan Omri, dan sekarang juga diikuti oleh anaknya, yaitu Ahab, adalah keadaan damai antara Israel dengan Yehuda. Ahab dan Yosafat melanjutkan tradisi damai itu. Meskipun mereka tidak ingin menyatukan kerajaan mereka, tetapi ada damai yang terjalin dengan sangat baik, bahkan kerja sama melawan musuh antara mereka berdua. Sebenarnya, dilihat dari sisi manusia, Ahab tidak melakukan hal yang jahat, kecuali dalam kasus Nabot. Tetapi tidak demikian dari sudut pandang Tuhan. Mengapa tidak? Karena sesungguhnya dia menghina Tuhan dengan menyembah berhala-berhala. Dia membangkitkan murka Tuhan karena membawa umat Tuhan sujud kepada ilah-ilah palsu. Demikian juga di dalam narasi hari ini. Ahab dan Yosafat memutuskan untuk menyerang Ramot-Gilead dan merebutnya dari tangan bangsa Aram. Perbedaan iman antara kedua raja ini menjadi jelas. Yosafat meminta agar mereka menanyakan seorang nabi Tuhan sebelum bertindak. Iman Yosafat, sayangnya, gagal diteruskan kepada keturunannya karena kedekatannya dengan Ahab. Karena relasi yang begitu dekat, maka Yosafat menikahkan anaknya dengan anak perempuan Ahab, sehingga menjadikan generasi selanjutnya dari raja Yehuda menjadi rusak (2Raj. 8:16-18). Permintaan Yosafat untuk berkonsultasi kepada nabi Tuhan dikabulkan oleh Ahab. Dia sendiri tidak pernah setia kepada Tuhan, tetapi demi relasinya dengan Yosafat maka dia mengumpulkan beberapa nabi Tuhan.

Ayat 11 dan 12 menunjukkan nubuat nabi-nabi palsu. Mereka mengakui berbicara atas nama Tuhan tetapi Tuhan tidak pernah mengutus mereka. Mereka terus mengucapkan hal-hal yang memang ingin didengar oleh raja Ahab. Mereka adalah para penjilat yang mau menyenangkan pendengar, mereka bukan nabi yang sejati. Hamba-hamba Tuhan yang berbicara untuk menyenangkan hati pendengarnya adalah hamba-hamba Tuhan yang palsu. Hamba Tuhan yang sejati harus berbicara atas nama Tuhan bagi kebaikan pendengarnya. Para pendengar memerlukan firman yang menuntun mereka untuk berjalan di jalan Tuhan. Mereka tidak perlu kalimat-kalimat yang menyenangkan hati tetapi tidak membuat mereka berjalan di jalan Tuhan. Para nabi palsu ini semua bernubuat menyatakan kemenangan Ahab dan Yosafat jikalau mereka mau maju berperang. Tetapi seorang nabi lain, yaitu Mikha, ternyata adalah satu-satunya nabi Tuhan sejati yang ikut dipanggil pada waktu itu. Utusan yang memanggil Mikha menyampaikan bahwa semua nabi telah menubuatkan kemenangan bagi Ahab dan Yosafat jika mereka mau maju berperang. Mikha menolak untuk mengatakan apa pun kecuali yang Allah telah perintahkan kepadanya. Maka Mikha, sesuai kehendak Tuhan, akhirnya menyatakan nubuat yang menyindir para nabi palsu itu dan yang menubuatkan kematian raja Ahab (ay. 17-23). Bukan saja dia menyampaikan berita yang berbeda dengan yang lain, dia juga membongkar kebohongan semua nabi yang lain itu.

Tetapi anehnya, walaupun telah mendengar nubuat nabi yang sejati, baik Yosafat maupun Ahab tetap maju berperang. Ahab menolak nabi Tuhan adalah hal yang biasa. Tetapi mengapa Yosafat juga ikut maju berperang? Mungkin karena pendapat para nabi Tuhan yang palsu itu membuat kebenaran firman Tuhan menjadi tidak jelas. Mungkin karena Yosafat tidak tahu yang mana suara dari nabi sejati dan yang mana suara nabi palsu. Yang jelas tidak ada suara dari siapa pun yang melarang untuk dia pergi berperang. Itu sebabnya Yosafat tetap berangkat dan pergi memerangi Ramot-Gilead bersama-sama dengan Ahab.

Bagian ini memberikan kepada kita pengertian mengenai betapa kacaunya bangsa yang mengizinkan nabi-nabi palsu dan berhala-berhala palsu terus berkembang. Kebenaran firman menjadi tidak jelas karena banyaknya suara yang mengklaim diri sebagai berasal dari Tuhan. Inilah yang terjadi di Israel pada Zaman Ahab. Suara nabi palsu begitu menyenangkan, tetapi menjerumuskan Ahab. Sedangkan suara nabi sejati menyatakan dengan jelas apa maksud Tuhan kepada Ahab. Suara ini konsisten dengan suara yang dinubuatkan oleh Elia dalam 1 Raja-raja 21:21-22. Tuhan akan memusnahkan keluarga Ahab.

Maka terjadilah, ketika pertempuran berlangsung, Ahab terkena panah yang ditembak dengan sembarangan. Ahab, yang menyamar menjadi tentara biasa, malah terkena panah itu. Tadinya dia menyamar jadi tentara biasa supaya dia bisa menghindarkan diri dari nubuat Mikha. Jika Mikha menubuatkan dia akan mati, maka mungkin nubuat itu bisa diakali dengan dia menyamar menjadi orang lain, dan bukan menjadi raja Israel. Ini adalah pemikiran yang konyol sekali. Ahab terkena panah dan akhirnya mati kehabisan darah. Darahnya menggenangi keretanya dan ketika kereta itu dicuci di telaga di Samaria, darah itu dijilat anjing dan menyatu di tempat di mana para pelacur mandi, sesuai nubuat Elia.

Untuk direnungkan
Akhir hidup Ahab adalah akhir hidup dari orang yang sangat sulit untuk digolongkan. Jika kita ingin menggolongkan dia sebagai raja yang jahat, maka narasi kitab ini mengisahkan bahwa di sisi lain dia masih memiliki kepolosan seperti seorang anak yang lugu. Tetapi jika kita menggolongkan dia sebagai raja yang baik, maka tindakannya menyembah berhala dan kegiatannya untuk agama-agama palsu membuat kita membatalkan cap raja baik ini. Ahab adalah raja yang menjadi korban dosa sekaligus pembuat dosa. Inilah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di dalam Yohanes 8:34. Orang yang melakukan tindakan berdosa akhirnya menjadi korban dari dosa itu. Korban, sekaligus penjahat. Dari sini biarlah kita memikirkan dua hal di bawah ini:

  1. Tuhan membenci dosa dan melarang kita untuk berbuat dosa. Ini adalah larangan yang Tuhan berikan karena cinta kasih-Nya kepada kita. Ahab yang mengabaikan Tuhan sebenarnya sedang membuat dirinya menjadi korban dosa. Dia menjadi orang yang dibelenggu oleh dosa dan tidak lagi bisa menikmati relasi dengan Allah yang sejati karena terikat dengan para berhala palsu. Siapa yang terikat dengan dosa adalah orang yang sangat kasihan. Hidup kemanusiaannya menjadi rusak dan tidak jelas karena manusia sejati adalah dia yang menyatakan gambaran kemuliaan Allah. Oleh sebab itu biarlah dengan pengertian ini kita menguatkan diri kita terhadap tawaran dosa. Jangan tergiur olehnya. Jangan juga datang untuk melihat dari dekat. Biarlah kita lari menjauh karena kita tahu bahwa dosa telah siap untuk menelan kita. Begitu kita ditelan, maka pertama-tama kepekaan kita terhadap dosa akan makin tumpul. Kita semakin tidak bisa membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak.
  2. Tetapi, selain menjadikan dirinya korban dosa, Ahab menjadikan dirinya musuh Allah dengan tindakannya itu. Begitu besar murka Allah kepada dia sehingga Allah memberikan akhir hidup yang sangat menghina wibawa Ahab sebagai raja. Ahab bertanggung jawab sebagai raja umat Tuhan untuk membawa umat Tuhan tunduk kepada Tuhan dan dia gagal menjalankannya. Pendosa bukan hanya korban dosa, tetapi juga seteru Allah. Ini jugalah yang harus kita ingat untuk semakin menjauhkan diri dari dosa. Siapa yang berbuat dosa dia menjadikan Allah seterunya. Mengapa demikian? Karena setiap kita adalah ciptaan Allah yang seharusnya menyembah Sang Pencipta. Dosa membuat kita mengabaikan Dia dan menganggap Dia tidak ada. Dosa membuat kita sujud kepada hal-hal lain. Ini semua membangkitkan murka Tuhan. Bagaimana dengan hidup kita? Adakah kita mengabaikan kedaulatan Allah di dalam seluruh aspek hidup? Kedaulatan Allah bukanlah tema doktrin untuk dijadikan seminar, dibahas, diperdebatkan, dan dijadikan tulisan akademik. Kedaulatan Allah adalah pengertian yang harus mengubah cara hidup kita dengan memberikan segala kuasa dan otoritas kepada Allah, bukan kepada diri kita sendiri. Tetapi dosa membuat manusia sujud kepada segala tindakan yang Tuhan benci. Kiranya Tuhan mengasihani kita dan memberikan kita kekuatan untuk berpaut kepada Dia dengan setia. (JP)

1 Raja-raja 22:1-40