Ujian berikutnya dari Tuhan kembali diberikan untuk Daud. Orang Amalek membakar Ziklag dan menawan semua keluarga pasukan Daud. Istri dan anak-anak mereka semua ditawan. Inilah saat yang sangat berat bagi Daud. Jika sebelumnya dia mengalami pengejaran dan berada dalam bahaya maut, maka kali ini dia merasakan pedihnya kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Keadaan bahkan bertambah parah karena seluruh rakyat yang mengikuti dia mengancam akan melemparkan dia dengan batu karena kesedihan yang mereka alami (ay. 6). Keadaan terjepit inilah yang menjadi cara Allah menunjukkan bahwa Dialah yang melindungi Daud dan akan berperang baginya. Akankah Daud tetap berpegang kepada Allahnya? Ayat 7 memberikan jawabannya. Dia tidak mau terus tenggelam di dalam keadaannya. Dia ingin kembali kepada panggilannya yang utama, yaitu menaati Tuhan. Dia memerintahkan imam Abyatar untuk membawa efod dan Daud memanjatkan doanya kepada Allah. Apakah baju efod itu? Baju efod adalah baju imam yang dipakai ketika sang imam melakukan tugas keimamannya, yaitu mewakili umat untuk berdoa kepada Allah. Dengan demikian Daud berespons dengan bertanya kepada Allah, apakah perintah-Mu bagiku sekarang? Ini adalah respons yang patut kita contoh. Di saat keadaan yang terhimpit kita tidak boleh memaksa Tuhan melakukan ini atau itu bagi kita. Kita juga tidak boleh menjadi kecewa kepada Dia yang berkuasa atas segala sesuatu. Daud datang kepada Tuhan dengan rendah hati. Bukan untuk memohon Tuhan melakukan ini atau itu. Bukan juga untuk menyatakan kekecewaan kepada Tuhan. Daud datang untuk bertanya kepada TUHAN semesta alam, “Apakah yang harus aku lakukan untuk menaati-Mu?”
Jawaban Tuhan memberikan kekuatan yang sangat besar kepada Daud. Tuhan memerintahkan Daud untuk mengejar gerombolan Amalek itu dan mereka akan sanggup membebaskan para tawanan. Tuhan yang menjadi sumber kekuatan Daud tidak pernah gagal menyatakan pertolongan-Nya kepada hamba-Nya ini. Tidak ada penghiburan apa pun yang dapat menolong Daud selain firman Tuhan yang berbicara kepada dia. Siapa pun dapat tetap setia kepada Allah di dalam segala kelimpahan dan ketentraman hidup, tetapi kesetiaan seperti itu adalah kesetiaan yang tidak teruji. Mengapa tidak? Sebab, seperti dikatakan Ayub, akankah kita menerima segala yang baik dari Allah tetapi membuang segala hal buruk yang Tuhan timpakan kepada kita (Ayb. 2:10)? Tanpa hal buruk ini kesetiaan sangat sulit diuji. Tetapi juga sangat sulit untuk tetap memiliki kekuatan di dalam segala himpitan keadaan di sekitar kita. Bagaimanakah cara kita melewati semuanya ini? Ada yang berusaha melewatinya dengan mematikan segala perasaan yang ada di dalam dirinya. Bagaimana caranya supaya tidak menderita karena hadirnya situasi yang menghancurkan segala kekuatan batin seseorang? Caranya, menurut orang-orang Stoik, adalah dengan mengabaikan segala bentuk emosi sebagai suatu perasaan liar yang menunjukkan kebodohan. Orang bijak tidak lagi merasakan kesedihan, demikian menurut kaum Stoik. Orang-orang bijak berpikir secara rasional dan karena itu dia akan menganggap segala bentuk emosi sebagai suatu bagian dirinya yang rendah. Tetapi ini bukan ajaran Alkitab. Allah pun mempunyai emosi. Dia bisa marah, atau berduka, atau bersukacita. Demikian juga manusia yang diciptakan-Nya menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Bolehkah keadaan emosional kita dipengaruhi oleh keadaan di sekitar kita? Tentu boleh, sebab ini adalah hal yang tidak mungkin bisa terhindarkan. Tetapi kita tidak boleh takluk kepada keadaan ini. Kita tidak bisa membiarkan diri makin larut di dalam keadaan emosi yang membuat kita terus takluk kepada keadaan. Keadaan sekitar kita bukanlah pemberi pengaruh yang utama bagi keadaan jiwa kita. Iman kita kepada Tuhanlah yang menjadi penopang yang utama bagi kita untuk mampu menang atas keadaan yang menghimpit kita. Jika seseorang terus tenggelam di dalam kesedihan, ketakutan, amarah, dan akhirnya depresi, maka dia belum mengalami kemenangan iman yang sejati. Jika seseorang belum pernah memasuki keadaan di mana kesedihan, ketakutan, dan juga amarah begitu menguasai dirinya, maka dia belum teruji. Tetapi jika dia pernah dihimpit keadaan yang membuat dia mengalami perasaan-perasaan tersebut, lalu mengatasinya karena kekuatan yang diperolehnya dari Allah, maka dia telah mengalami kemenangan iman di dalam Allah. Dan inilah cara orang beriman datang kepada Tuhan. Dia berdoa, merendahkan dirinya kepada Tuhan, dan bertanya, “apakah yang Engkau inginkan aku lakukan, ya Tuhan?” Daud bertanya, “haruskah aku mengejar mereka? Dapatkah mereka kususul?” (ay. 8). Ayat 6 bagian akhir mengatakan bahwa Daud menguatkan kepercayaannya kepada Allah. Inilah hal yang pernah dialami juga di dalam 1 Samuel 23:16. Kepercayaan Daud kembali dikuatkan oleh perkataan dari Yonatan. Dan pada bagian ini kepercayaan Daud dikuatkan justru dengan keinginan untuk menaati Tuhan.
-
Kaitan bagian ini dengan seluruh Kitab 1 Samuel
Bagian ini makin menguatkan penekanan kepada penyertaan Tuhan atas Daud. Bandingkan ayat 6 dengan 1 Samuel 14:36-37 atau 1 Samuel 14:18-19. Betapa berbedanya Saul dengan Daud. Daud sangat menekankan mencari kehendak Tuhan. Saul hanya meletakkan kehendak Tuhan sebagai suatu formalitas. Ketika dia berada dalam keadaan terdesak barulah dia mencari kehendak Tuhan. Tuhan tidak akan menjawab doa orang yang bermain-main dengan Dia seperti Saul. Itu sebabnya di dalam 1 Samuel 14:37 Tuhan diam. Tetapi tidak demikian dengan Daud. Dia menanti perintah Tuhan walaupun dalam keadaan terjepit. Tuhan melatih Daud dengan cara yang begitu berat. Tetapi respons Daud membedakan dia dengan Saul. Di mana Saul gagal, Daud berhasil. Saul berespons kepada keadaan, Daud berespons kepada perintah Tuhan. Saul tidak peduli kehendak Allah, Daud mengutamakan kehendak Allah. Bagian ini adalah bagian yang memberikan penekanan yang makin memuncak bahwa Sang Raja baru telah diangkat oleh Tuhan. Lupakanlah raja yang lama. Alihkanlah pandanganmu kepada raja yang baru ini karena, berbeda dengan raja yang lama, raja yang baru ini mengutamakan kehendak Tuhan. -
Apakah yang dapat kita pelajari?
Biarlah kita menjadi orang-orang yang segera bangkit dalam keadaan apa pun. Keadaan yang menghantam kita sehingga kita hancur sekalipun adalah ujian kesungguhan kita menaati kehendak Allah. Bagaimanakah kita dapat melewati ujian ini? Dengan belajar berdiam diri di hadapan Allah ketika kita tergoda untuk membuka mulut dan mempertanyakan keputusan-Nya? Tetapi Daud memberikan pelajaran untuk bertindak dengan cara yang seharusnya. Daud mengajarkan kepada kita untuk bertanya kepada Tuhan. Apakah yang menjadi kehendak Tuhan? Apakah yang Tuhan harapkan saya perbuat? Keputusan apakah yang harus saya ambil untuk menaati-Mu? Daud menjadi raja yang juga adalah imam. Dia berseru kepada Tuhan demi kepentingan seluruh umat. -
Bayang-bayang Kristus
Bagian ini memberikan pernyataan tentang kebertundukan total Kristus. Tidak ada manusia mana pun di dalam sejarah yang menjadikan ketaatan kepada kehendak Allah sebagai hal yang sama pentingnya dengan makanan (Yoh. 4:34). Ketaatan Kristus adalah ketaatan akan kehendak Bapa yang memerintahkan Dia untuk turun dari takhta-Nya di surga yang mulia dan pergi ke dunia yang penuh dengan cemar dan dosa. Kehendak Bapa yang memerintahkan Dia untuk rela dihina dan disiksa. Kehendak Bapa yang memerintahkan Dia untuk naik ke kayu salib dan mati dengan cara yang paling hina. Ketaatan seperti ini, siapakah lagi yang pernah melakukannya? Setiap orang cemar yang berdosa tidak rela direndahkan sedemikian. Kristus yang mulia dan suci rela direndahkan sedemikian karena itulah kehendak Bapa bagi-Nya. Bagaimanakah saya menang atas segala ujian? Dengan memberikan ketaatan kepada kehendak Allah. Bagaimana mungkin saya sanggup mengerjakan itu? Kristus yang sudah mengerjakannya, adalah sumber kekuatan kita untuk berjuang menaati Allah. (JP)