Alkitab mengatakan bahwa setelah Daud mengalahkan Goliat, baik Yonatan maupun Saul mengasihi Daud. 1 Samuel 17:55-58 menunjukkan seolah-olah Saul tidak mengenal siapa Daud, padahal di dalam pasal 16:19 telah dinyatakan bahwa Saul telah mempekerjakan Daud sebagai pegawainya. Tetapi ada dua hal yang perlu kita ketahui. Yang pertama, 17:55-58 tidak menyatakan bahwa Saul tidak mengenal Daud. Bagian ini mau menyatakan bahwa sekarang Saul memandang dengan hormat kaum keluarga Daud dengan menanyakan sekali lagi anak siapakah Daud. Tadinya Saul tidak peduli sama sekali dengan siapa ayah Daud, tetapi setelah melihat keberanian dan kemenangan Daud, maka Saul merasa perlu mengenal dan menghargai kaum keluarga Daud dengan rasa hormat yang lebih besar. Hal kedua adalah bahwa 17:22 merupakan kesimpulan cerita yang merangkum peristiwa pasal 18:2. Jadi pasal 17 merangkum kisah perjumpaan Saul dengan Daud hingga akhirnya Daud menjadi pegawai Saul dan tidak lagi pulang ke rumah ayahnya, setelah dia mengalahkan Goliat di dalam 17:40-51. Sedangkan pasal 18 merangkum kisah kebencian Saul kepada Daud. Kebencian yang muncul karena perasaan iri hati dan perasaan insecure dalam diri Saul. Merasa terus tidak aman adalah tanda orang-orang yang terlalu berpusat pada diri sendiri. Namun sebelum masuk di dalam narasi tentang kebencian Saul, Kitab Samuel memberikan satu narasi peralihan, yaitu mengenai relasi Daud dengan Yonatan.
Alkitab mencatat bahwa Yonatan, anak Saul, langsung merasa sejiwa dengan Daud. Orang-orang dengan kegigihan yang sama berjuang demi nama Tuhan akan sangat mudah memberikan penghargaan yang mutual. Ayat 1 mengatakan bahwa Yonatan sangat mengasihi Daud dan jiwanya berpadu dengan jiwa Daud. “Siapakah ibu-Ku? Siapakah saudara-Ku laki-laki dan saudara-Ku perempuan? Dia yang menjalankan kehendak Bapa-Ku yang di surga, itulah ibu-Ku dan saudara-Ku” – demikian dikatakan oleh Tuhan Yesus (Mat. 12:48-50). Bukan darah pengikat relasi yang paling kuat. Kesamaan hati untuk Tuhan, itulah pengikat relasi yang paling kuat. Saudara-saudara seiman yang sama-sama bergiat untuk Tuhan akan menjadi sejiwa dan saling mengasihi. Mantan CEO Apple Inc., Steve Jobs, membuat banyak orang heran karena dia sanggup mengumpulkan dan menyatukan banyak orang-orang brilian yang bermasalah dalam berelasi di perusahaan tempat mereka bekerja sebelumnya. Bagaimana menyatukan para pembuat masalah ini? Jobs mengatakan, “Orang-orang ini adalah profesional sejati. Jika mereka bertemu dengan para amatir, tentu akan terjadi masalah. Tetapi jika mereka bertemu dengan sesama profesional, maka mereka akan saling menghormati dan menjadi satu. Mengapa mereka dulu bermasalah? Karena mereka bekerja di tempat para amatiran. Tetapi di perusahaan saya, mereka seperti di rumah sendiri.” Seorang dengan gairah yang besar untuk kemuliaan nama Tuhan seperti Yonatan tentu akan merasa sejiwa dengan Daud.
Sering kali orang-orang Kristen merindukan adanya komunitas gereja yang saling memperhatikan dan saling mengasihi. Ada sekelompok orang yang mengasihi kita dan yang kita kasihi. Tetapi terkadang poin penting mengenai kesamaan gairah untuk Tuhan menjadi terlupakan. Apakah yang seharusnya menyatukan gereja? Gereja bukan tempat orang yang mempunyai hobi yang sama berkumpul. Gereja juga bukan tempat orang-orang sesuku merasa seperti di rumah sendiri. Gereja juga bukan tempat kelompok kecil yang membuat kita nyaman di dalamnya. Gereja seharusnya terdiri dari orang-orang yang rindu menaati Tuhan dan sungguh-sungguh rela berjuang demi kemuliaan-Nya. Sudahkah kita merasa nyaman di dalam gereja kita? Ya? Mengapa? Apakah karena kita merasa diterima dengan baik di sana? Apakah karena kita merasa bisa mengekspresikan hobi menyanyi dengan diterima di koor atau menjadi pemimpin pujian? Apakah karena kita merasa penting dan diterima baik bila berada di lingkungan gereja? Itu semua adalah hal-hal dangkal sekali karena tetap menjadikan kenyamanan diri sebagai standar. Tetapi coba pertimbangkan hal ini. Apakah gereja itu sungguh-sungguh giat melayani Tuhan di dalam mengabarkan Injil? Adakah gereja itu diisi oleh orang-orang yang siap berkorban bagi Tuhan? Apakah gereja itu benar-benar rindu nama Tuhan ditinggikan? Jika orang-orang yang ada di gereja kita sungguh-sungguh giat bagi Tuhan, lalu kita merasa nyaman karena sehati dan sepikir dengan orang-orang di gereja karena adanya orang-orang tersebut, maka kenyamanan seperti inilah yang memberi sukacita sejati.
Banyak orang yang gampang sekali meninggalkan gereja karena hal-hal kecil. Inilah bayi-bayi rohani yang terus perlu dininabobokan dengan perhatian dan penerimaan. Sekali mereka disinggung maka mereka akan mengancam dengan meninggalkan gereja. Betapa berdosanya orang yang menunjukkan penghargaan sangat rendah kepada gereja Tuhan dan menganggap dirinya lebih tinggi dari gereja. Siapakah yang lebih tinggi dari gereja? Hanya Kristus, Kepala gereja dan Pengantin pria dari gereja, Dialah yang lebih tinggi. Bagaimana dengan yang lain? Yang lain adalah sesama saudara di dalam Kristus. Sesama saudara yang harus meneladani Kristus yang mengatakan, “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani…” (Mat. 20:28). Mereka yang sudah memiliki kematangan rohani akan rindu berkorban demi melayani Tuhan. Tetapi mereka yang masih kanak-kanak perlu untuk segera naik kelas dan menjadi orang-orang yang rela melayani dan berkorban bagi Allah, yang adalah sumber segala kebaikan yang kita terima di dalam hidup kita. Apakah penghiburan dan kesegaran rohani bagi orang-orang yang sungguh-sungguh bergiat dan rela berkorban bagi Allah? Salah satunya adalah bertemu dengan orang-orang yang sehati, sepikiran, dan sejiwa dengan dia. Inilah yang dialami Yonatan. Dia begitu heran karena tidak ada yang bergiat bagi Tuhan di tengah-tengah pasukan Saul. Dia hanya ditemani dengan pengawalnya ketika bertindak memerangi Filistin di dalam pasal 14. Dia menanti siapakah yang memiliki keberanian untuk menjadi pahlawan bagi Israel. Bahkan, dengan iman yang melihat lebih jauh rencana Allah, Yonatan menantikan siapakah yang akan menjadi raja sejati bagi Israel. Dia tidak menginginkan posisi itu bagi dirinya sendiri jika memang ada yang lebih layak daripada dia.
Ayat 3 mengatakan bahwa Yonatan mengikat perjanjian dengan Daud. Tindakan yang disusul dengan pemberian jubah dan persenjataannya kepada Daud (ay. 4). Perjanjian seperti apakah ini? Karena kasih? Tidak hanya karena kasih, tetapi merupakan tindakan yang sarat makna simbolis dalam hal politik. Yonatan mengikat perjanjian dengan tanda perjanjian yang menyatakan pemberian kekuasaan. Ya. Pemberian jubah dan persenjataan berarti meneruskan kuasa, yang dalam hal ini adalah takhta Israel, kepada orang yang menerima jubah dan persenjataan itu (Bil. 20:24-28; 1Raj. 19:19-21; Yes. 22:21). Dia, yang adalah anak raja dan putra mahkota, sekarang menyerahkan wewenangnya atas takhta Israel kepada Daud. Di tengah-tengah persaingan dan perebutan kekuasaan, Yonatan memberikan kuasanya kepada Daud. Mengapa kepada Daud? Imannya menyatakan kepada dia bahwa Daudlah yang seharusnya menjadi raja. Apakah Yonatan tahu ketika Samuel berbicara kepada Saul bahwa Saul sudah ditolak oleh Allah (1Sam. 15:28)? Mungkin. Tetapi dia tidak mungkin tahu tentang pengurapan Daud karena itu berlangsung secara diam-diam (1Sam. 16:2-3). Iman Yonatan berfokus kepada kehendak Allah. Itulah sebabnya dia merasa sejiwa dengan Daud yang rela berkorban karena gairahnya untuk memuliakan Allah. Itulah juga sebabnya dia rela memberikan otoritasnya sebagai calon raja kepada Daud. Dia tidak menginginkan takhta. Dia menginginkan nama Tuhan dipermuliakan dan kehendak-Nya ditaati.
Bagaimana dengan kita? Apakah kerinduan kita yang terbesar adalah melayani Tuhan? Apakah penghiburan terbesar bagi kita adalah bertemu dengan orang-orang yang rela berkorban bagi Tuhan? Apakah kita rindu kehendak Tuhan dinyatakan meskipun itu berarti memberikan “takhta” kita kepada orang lain? (JP)