To Become The Greatest!

Devotion

To Become The Greatest!

11 June 2018

Bacaan: Mat 18:1-3

Ketika kita berpikir mengenai predikat sebagai “yang lebih hebat”, mau tidak mau, kita akan membayangkan apa “yang tidak lebih hebat”, dengan kata lain kelemahan-kelemahan kita. Kelemahan-kelemahan ini membuat kita merasa insecure. Alasannya sederhana, dunia ini tidak bersahabat dengan yang lemah. Berbagai jargon dikeluarkan untuk menekan “yang lemah” dengan standar-standar yang dikonstruksi oleh masyarakat, sebut saja iklan susu untuk me-naik/turun-kan berat badan atau iklan-iklan yang memperalat wanita atau laki-laki. Yang lebih umum di telinga pemuda seperti kita mungkin jargon, “orang sukses itu seperti a, b, dan c.”

Betul bahwa tidak semua standar tersebut berkonotasi negatif. Ada nilai-nilai pembentuk citra yang memang baik adanya, seperti ketekunan, dan sebagainya. Tetapi entah mengapa, di dalam dunia pun sering terjadi sebuah anomali, ketika orang-orang hebat muncul dari standar yang berbeda pada umumnya. Thomas Alfa Edison atau Einstein misalnya, mereka dicap sebagai “yang lamban dan bodoh” ketika masih duduk di bangku sekolah. Sekarang, masihkah dunia berani mengatakan bahwa mereka “lamban dan bodoh”?

Sepertinya “anomali” ini pun dipakai Yesus untuk mendidik murid-murid-Nya. Ketika para murid menanyakan “siapakah yang terbesar ya Tuhan?” Tuhan menjawabnya justru dengan “dia yang terkecil ke tengah-tengah mereka”. Tuhan kita memang humoris. Mungkin murid-murid pun bertanya di benak mereka, “yang bener Tuhan? Anak ini sekali gaplok juga nangis, gue jelas-jelas lebih kuat”. Mereka juga bisa datang dengan segudang keberatan lainnya, bahwa “saya” lebih pintar, lebih tua, lebih cekatan, lebih pengalaman, dan “lebih-lebih” yang lain.

Ternyata Tuhan menjawab secara berbeda. Melayani Tuhan bukan perihal kompetisi horizontal, melainkan ketaatan kepada Tuhan dengan segenap hati, tenaga, pikiran, dan kekuatan (jadi bukan berarti bermalas-malasan juga). Kita salah ketika kita membawa keagamaan kita hanya untuk saling “menggebuk”. Kenapa Tuhan membawa yang terkecil? Karena standar Tuhan bagi kita itu bukan orang di sebelah kita, melainkan Yesus sendiri. Kristus yang menjadi standarnya, tinggi sekali bukan? “Elu mau jadi yang terhebat? Ngerendah dulu seperti gue di hadapan Bapa.” kira-kira begitu maksud Kristus dalam logat “Betawi-Aramaik”. Pada titik di mana kita merendahkan diri di hadapan Tuhanlah, kita baru menemukan arti dari kalimat  “bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini”.

Sekarang, mari renungkan sejenak, masihkah kita mengerjakan semua aktivitas keagamaan kita hanya untuk menjadi “yang terhebat”? (NT)