Kemiskinan Rohani dan Penginjilan

Devotion

Kemiskinan Rohani dan Penginjilan

10 November 2025

Setiap manusia menginginkan surga. Surga menjadi kerinduan terdalam yang ingin dipenuhi manusia dan dikejar oleh berbagai agama di dunia. Tetapi, siapakah yang pantas memperolehnya? Tuhan Yesus menjawab pertanyaan ini dalam ucapan bahagia yang pertama dalam khotbah-Nya di bukit: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:3). Maka dapat disimpulkan bahwa surga adalah bagi mereka yang miskin di hadapan Allah.

Alkitab menjelaskan bahwa orang berbahagia yang dimaksud dalam perikop tersebut adalah mereka yang menyadari kemiskinan rohaninya. Seseorang yang menjadi miskin di hadapan Allah berarti memiliki hati yang sungguh-sungguh sadar akan ketidaklayakan dan kehampaan rohani di dalam dirinya. Mazmur 69: 33-34 menggambarkan orang miskin sebagai mereka yang membutuhkan belas kasihan, layaknya para tawanan yang “mencari Allah” sebagai satu-satunya tempat perlindungan dan keselamatan mereka.

Pdt. Stephen Tong membantu kita memahami makna kemiskinan rohani ini secara lebih dalam melalui bukunya Khotbah di Bukit, dan sekaligus menunjukkan betapa jauh jarak kita dari sikap rohani tersebut. Ia menyatakan bahwa, “Dalam hal materi orang mudah menyadari kekurangannya, tetapi dalam hal rohani orang sulit menyadari bahwa dirinya sedang kekurangan.”

Sebagai ilustrasi, ketika kita mengendarai mobil Honda, kita akan cepat merasa tidak lebih kaya dari orang yang mengendarai mobil Mercedes-Benz. Kesadaran akan kekurangan materi timbul begitu saja. Bahkan, mungkin muncul tekad dalam diri kita untuk menabung supaya bisa membeli mobil Mercedes-Benz. Tetapi, ketika kita melihat saudara seiman atau hamba Tuhan dengan semangat mengabarkan Injil dan melayani Tuhan, sementara kita belum berbuat apa-apa bagi Tuhan, kita tidak merasa miskin, bahkan tidak timbul rasa malu, rasa bersalah, atau kesadaran berutang dalam hati kita. Ini menunjukkan betapa sulitnya manusia berdosa untuk merasa miskin di hadapan Allah.

Dalam gerakan Reformed Injili, kita menyaksikan teladan nyata dari Pdt. Stephen Tong. Sejak tahun 2012 hingga sekarang, ia telah mengadakan kebaktian penginjilan di lebih dari 200 kota di Indonesia. Ia telah berkhotbah kepada lebih dari 37 juta orang selama 68 tahun pelayanan yang menjangkau Asia, Eropa, Australia, Afrika, serta Amerika Utara dan Selatan. Bahkan hingga usia 85 tahun, ia masih konsisten memimpin kebaktian kebangunan rohani dan konvensi Injil, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk anak-anak, remaja, pemuda dan umat Kristen secara umum. Semua ini ia lakukan saat ini dalam kondisi fisik yang lemah dan penuh keterbatasan karena usia.

Sebagai generasi muda, bagaimana respons kita saat melihat perjuangan beliau dalam mengabarkan Injil? Mengasihani dan menangisinya? Tidak! Kita akan ditegur seperti Yesus Kristus menegur wanita yang menangisi-Nya (Luk. 23: 28-31). Kita seharusnya merasa miskin dan rendah. Kita seharusnya sadar bahwa kita kurang melayani dan akan termotivasi untuk melayani lebih giat. Kita seharusnya malu karena kita jarang menginjili dan timbul dorongan untuk menginjili lebih berani. Inilah esensi dari menjadi miskin di hadapan Allah. Tanpa jiwa yang demikian, tidak ada kerinduan akan surga yang sesungguhnya bagi orang tersebut.

Di zaman ini, kita sering diarahkan untuk mengembangkan berbagai aspek rohani, kecuali kemampuan untuk menjadi miskin. Marilah kita memohon kepada Tuhan agar Ia menyingkapkan kemiskinan rohani kita, supaya kita sadar akan banyaknya utang yang belum kita bayar: utang kemuliaan kepada Tuhan, utang kasih kepada sesama, dan utang Injil kepada dunia (Pdt. Stephen Tong). (SS)