Orang yang pernah dekat dengan Tuhan pasti akan merasa sangat sengsara ketika ia berubah menjadi jauh dari Tuhan. Seperti Mazmur 42, pemazmur menceritakan bagaimana kondisinya dahulu ketika ia boleh mendapatkan berkat-berkat dari Tuhan. Ia menceritakan bagaimana ia dengan bebas beribadah dan berdoa kepada Allah dan Allah menjawab doa-doanya. Tetapi saat ia menuliskan mazmur tersebut, pemazmur merasa seperti sedang dibuang oleh Allah. Ia berkata, “Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” Ditambah lagi musuh-musuh yang melihat nasibnya mengatakan, “Di mana Allahmu?”
Sebagai orang Kristen, terkadang dalam kondisi lemah rohani, kita juga merasa seperti telah ditinggalkan oleh Allah. Perasaan seperti ini bisa menghantui kita berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Jatuh-bangkit-jatuh-bangkit, ini sepertinya suatu proses yang sangat melelahkan. Akhirnya kita pun mulai bertanya kepada Allah, “Apakah benar saya sungguh sudah diselamatkan? Jangan-jangan Tuhan sudah membuang saya?” Di saat yang bersamaan ketika kita harus melayani Tuhan, keraguan kita membuat kita lalai dalam segala hal. Hal ini makin menambah keterpurukan kita. Kita terus mengingat dahulu kita pernah seperti ini atau itu. Dahulu Tuhan sepertinya sangat memberkati pelayanan kita, tetapi kenapa sekarang tidak? Dahulu saya begitu giat melayani Tuhan, kenapa sekarang lesu? Kenapa kita gagal? Kita mungkin akan seperti pemazmur dan berkata, “Bilakah aku boleh datang melihat Allah”, karena kita mulai ragu apakah Tuhan akan mendengar doa kita. Ditambah lingkungan juga sangat mungkin mencela kita dengan mengatakan, “Kamu punya Allah atau tidak? Kamu orang Kristen atau bukan?”
Akan tetapi herannya pemazmur begitu optimis bahwa suatu hari ia akan bersyukur lagi kepada Allah. Bukankah dahulu ia begitu diberkati tetapi sekarang ini ia seperti seorang yang sudah ditinggalkan Allah? Bukankah Allah sepertinya cuek terhadap si pemazmur, bahkan musuh-musuhnya pun mencela Allah, karena Allah tidak bereaksi apa-apa saat itu? Lantas mengapa pemazmur bisa begitu optimis?
Pemazmur mengatakan, “”Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!“ (Mzm. 42:6, 12; Mzm. 43:5). Ia mengatakan demikian bukan karena ia mengharapkan sesuatu yang kosong. Ketika ia mengenang masa lalunya, ia bukan hanya melihat bagaimana ia dulu bisa dekat dengan Allah. Tetapi ia melihat ada dasar bahwa Allah sanggup dan akan menolongnya sekali lagi seperti dahulu ketika ia pernah diberkati oleh Tuhan. Jadi, justru melalui masa lalunya, ia menjadi makin yakin bahwa Tuhan pernah memimpinnya dan peduli kepadanya. Melalui masa lalunya, ia justru memiliki dasar untuk mengatakan, “Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya!”
Kita mungkin mengalami kesulitan, entah itu disebabkan oleh dosa kita sendiri ataupun bukan. Kedua hal ini bisa membuat kita menjauh dari Tuhan. Tetapi marilah kita belajar seperti pemazmur yang senantiasa bersandar kepada Tuhan karena ia pernah melihat Tuhan memimpin hidupnya. Belajar untuk datang kepada-Nya, entah itu mengeluh ataupun memohon ampun atas dosa-dosa, tetapi janganlah lupa untuk senantiasa bersandar dan berharap kepada-Nya, sambil mengatakan, “Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya!” (SW)