Kisah perumpamaan tentang “anak yang hilang” (judul diberikan oleh LAI) tentu tidak asing lagi bagi kita. Sering kali kita berpikir bahwa fokus di dalam kisah tersebut adalah bagaimana anak bungsu meminta seluruh warisan yang menjadi bagiannya, lalu pergi meninggalkan ayahnya, terhilang, dan akhirnya di dalam penyesalannya dia kembali kepada ayahnya. Tidak jarang kita memahami kisah ini sebagai kehidupan orang-orang yang melawan dan meninggalkan Tuhan. Sampai pada satu titik di dalam kehidupannya, mereka menyadari betapa hidupnya tidak berdaya, dan kemudian memutuskan untuk kembali kepada Tuhan dengan penyesalan. Namun sebenarnya, kisah ini tidak hanya memberitahukan kepada kita bagaimana sang anak bungsu yang terhilang, tetapi juga sang anak sulung yang terhilang di dalam ketaatannya.
Kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana anak sulung dapat terhilang? Bukankah dia selalu bersama-sama dengan ayahnya? Bahkan dia melayani dan tidak pernah melanggar perintah ayahnya. Siapa sesungguhnya yang hendak digambarkan sebagai anak sulung dalam kisah ini?
Sebelum kita membahas lebih lanjut mari kita terlebih dahulu melihat apa yang menjadi latar belakang dari perumpaman tersebut. Di dalam pembukaan Lukas 15 dikatakan bahwa para pemungut cukai dan orang-orang berdosa datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Lalu bersungut-sungutlah orang Farisi dan ahli-ahli Taurat karena Yesus menerima orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka. Kemudian Yesus menggunakan perumpamaan anak yang hilang untuk mengajar orang-orang Yahudi, khususnya orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat pada waktu itu.
Anak sulung di dalam kisah tersebut digambarkan sebagai anak yang mempunyai integritas moral yang begitu tinggi. Hal ini terlihat dengan begitu giatnya sang anak sulung menjalankan perintah yang ada dan bahkan dikatakan dia tidak pernah melanggar perintah sama sekali. Demikian juga orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, mereka adalah orang yang selalu mengikuti segala tuntutan Taurat dengan begitu ketat supaya memperoleh perkenanan Tuhan.
Mungkin banyak dari kita sebagai orang Kristen juga menjalani kehidupan keagamaan dengan integritas moral yang tinggi. Kita bisa begitu giat dalam menjalankan kewajiban agama maupun melayani di dalam setiap kegiatan gereja. Kita rela mengorbankan dan melakukan apa saja asal mendapat perkenanan Tuhan, dan hal itu boleh menjadi suatu kebanggaan bagi kita. Tapi tunggu dulu, bukankah si sulung dan orang Farisi juga melakukan hal yang sama? Apa yang salah dengan mereka, sehingga mereka menjadi anak yang terhilang di tengah-tengah ketaatan mereka.
Masalah yang pertama adalah mereka berharap melalui ketaatannya, mereka boleh mendapatkan sesuatu, yaitu harta warisan yang menjadi haknya. Seberapa sering kita mempunyai cara berpikir seperti anak sulung ini? Kita berusaha untuk menjalani kewajiban agama dengan sebaik-baiknya, dan berharap Tuhan memberikan kepada kita sesuatu yang baik kepada kita, seakan-akan sesuatu yang memang layak kita terima. Sehingga ketika hidup kita tidak berjalan dengan baik, tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan, kita menjadi marah kepada Tuhan, seakan-akan Tuhan berutang atas kebaikan yang telah kita jalankan. Bahkan tidak jarang kita menjadikan Tuhan sebagai pembantu kita untuk menyelesaikan segala persoalan di dalam kehidupan kita.
Masalah yang kedua adalah anak sulung menggambarkan dirinya sebagai pekerja keras, orang bermoral, anggota dari kaum elit, atau orang yang pandai dan cerdas serta merasa signifikan. Dia berusaha mengendalikan lingkungan sekitarnya. Seberapa banyak dari kita yang juga melakukan hal seperti itu? Kita dengan rajin mengikuti seminar dan kelas pembinaan supaya melalui semua pembelajaran itu, kita terlihat seperti orang yang mempunyai suatu pengetahuan rohani yang lebih baik. Melalui pengetahuan itu kita ingin mengendalikan orang lain di sekitar kita, dan bahkan kita cenderung ingin menghakimi orang lain dengan seluruh pengetahuan kita.
Masalah yang ketiga adalah kehidupan doa yang kering. Anak sulung mungkin rajin berdoa, rajin ikut dalam persekutuan doa, tetapi seluruh doanya hanya berbentuk pembacaan kebutuhan atau petisi saja, dan bukan berupa ucapan syukur yang penuh sukacita. Sesungguhnya di balik semua itu dia tidak mempunyai kehidupan doa sama sekali. Bukankah kita juga demikian? Ucapan syukur kita sering kali tidaklah sungguh-sungguh. Doa kita baru sungguh-sungguh ketika ada hal-hal yang tidak berjalan lancar di dalam kehidupan kita.
Inilah beberapa hal dari si anak sulung yang membuatnya terhilang. Anak sulung ini membangun keberadaannya melalui ketaatannya kepada peraturan, melalui kerja kerasnya dia membangun sekuritasnya, dan melalui pengenalannya akan bapanya dia memenuhi kebutuhan hidupnya. Si sulung terhilang dalam keyakinannya yang dia bangun di atas usaha dia sendiri. Bukankah itu gambaran kehidupan kita selama ini? Kita merasa sudah Kristen, kita giat melayani, hidup kita senantiasa diberkati Tuhan. Kita tidak pernah sadar kita terhilang dan butuh anugerah Tuhan, inilah keterhilangan kita. Mari kita renungkan kembali kehidupan kita selama ini, dan mari bertobat di hadapan Tuhan seperti si anak bungsu yang terhilang dan kembali, bukan seperti si anak sulung yang tidak merasa terhilang dan akhirnya terhilang selamanya. Kiranya Tuhan menolong kita. [S]
Refleksi dari buku “Allah yang Mahapemurah: Menemukan Kembali Inti Iman Kristen”, oleh Timothy Keller (Penerbit Momentum).