Bangkit Dari Keterhilangan

Christian Life

Bangkit Dari Keterhilangan

29 March 2021

Suatu hari saya pergi melayat salah seorang teman dekat yang ayahnya meninggal mendadak karena serangan jantung. Betapa sedihnya ditinggal oleh orang yang kita kasihi secara mendadak seperti itu. Tidak dapat dipungkiri tangisan mengiringi penutupan peti dan penguburan. Tetapi ada yang menarik kalau kita perhatikan setiap kali pergi melayat dalam lingkungan orang percaya. Betul ada tangisan kesedihan karena ditinggal orang yang kita kasihi, tetapi tangisan tersebut tidak membawa kita kepada kesedihan berlarut-larut dan histeris karena pada saat bersamaan kita sadar bahwa orang yang kita kasihi tersebut sekarang sudah bersama Bapa di sorga. Di sana tidak lagi ada penderitaan, ratapan, tangisan, kesedihan, dan air mata. Yang ada adalah sukacita kekal selamanya karena kita sudah bersama Allah yang Mahabaik. Dengan demikian, perpisahan dengan orang yang kita kasihi di dunia ini hanyalah perpisahan sementara. Kelak kita akan dikumpulkan lagi bersama-sama di sorga sana, menikmati pujian indah bersama malaikat di sorga yang ditujukan kepada Allah yang Mahamulia.

Adakah hari ini kita merasa keterhilangan orang yang kita kasihi yang telah lebih dahulu meninggalkan kita? Adakah keterhilangan tersebut terus mengikat kita dalam kesedihan yang tidak pernah selesai? Atau mungkin kita sedang menyalahkan diri kita sendiri, seolah-olah gara-gara kita membuat orang yang kita kasihi akhirnya meninggal. Entah kita menganggap itu gara-gara kelalaian kita, gara-gara ketidakpedulian kita, atau gara-gara keterlambatan kita, dan sebagainya, yang pasti satu hal kita harus sadari, kita tidak pernah bisa memutar balik jam kehidupan untuk kita membuat orang yang kita kasihi tidak jadi meninggal. Bukankah kita sadar hidup itu dalam tangan Tuhan? Bukankah kita sangat tahu bahwa Tuhan yang memberikan hidup, Dia juga yang berhak mengambilnya? Maka sesungguhnya tindakan mengurung diri, tindakan menyesali diri, tindakan berduka cita yang tidak pernah selesai bukanlah tindakan seorang yang melihat bahwa Allah adalah penentu hidup mati manusia. Bukankah hal ini juga adalah dosa di mata Sang Pencipta?

Mari kita bangkit kembali menjalani hidup ini dengan kesadaran Tuhan-lah Sang Pemberi Waktu Hidup dan sekarang Dia masih memberikan kita waktu untuk hidup memuliakan nama-Nya. Mari kita belajar seperti Daud yang segera bangkit dalam kesedihannya ketika anaknya mati: Lalu Daud bangun dari lantai, ia mandi dan berurap dan bertukar pakaian; ia masuk ke dalam rumah TUHAN dan sujud menyembah. Sesudah itu pulanglah ia ke rumahnya, dan atas permintaannya dihidangkan kepadanya roti, lalu ia makan. Berkatalah pegawai-pegawainya kepadanya: “Apakah artinya hal yang kauperbuat ini? Oleh karena anak yang masih hidup itu, engkau berpuasa dan menangis, tetapi sesudah anak itu mati, engkau bangun dan makan!” Jawabnya: “Selagi anak itu hidup, aku berpuasa dan menangis, karena pikirku: siapa tahu TUHAN mengasihani aku, sehingga anak itu tetap hidup. Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku” (2Sam. 12: 20-23). Kiranya Allah memberikan kita kekuatan dan sukacita menjalani waktu hidup yang masih Tuhan berikan. (DS)