Thomas Aquinas meringkas theologi sebagai disiplin yang diajarkan oleh Allah, mengajarkan tentang Allah, dan memimpin kita kepada Allah. Pengenalan akan Allah adalah inti dari theologi. Orang Kristen adalah orang yang percaya kepada Yesus Kristus sehingga memiliki hidup yang kekal (Yoh. 3:16). Alkitab mendefinisikan bahwa hidup yang kekal tidak lain adalah mengenal satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah diutus oleh Allah Bapa (Yoh. 17:3). Dengan demikian, hidup orang Kristen adalah hidup untuk belajar theologi.
Namun faktanya, orang Kristen tidak menyukai pembelajaran theologi. Theologi dianggap sebagai sesuatu yang tidak relevan dan tidak berguna untuk hidup kita. Anggapan ini berakar pada perbedaan definisi mengenai hidup. Bagi kita, hidup berarti mencari uang yang berujung pada pemuasan diri. Kita bersekolah supaya bisa berkuliah, berkuliah agar mudah memperoleh pekerjaan dan bekerja untuk mencari uang agar dapat memenuhi kebutuhan (lebih tepat: keinginan) diri kita: gadget terbaru, kendaraan termutakhir, rumah ternyaman, pakaian terkini, dan perawatan tubuh maksimal. Bila hidup kita berfokus pada pemuasan diri yang duniawi seperti ini, sedangkan hidup kekal berfokus pada pengenalan Allah dan Yesus Kristus, theologi pasti menjadi tidak relevan bagi hidup kita.
Di dalam sejarah, tidak sedikit orang-orang yang pernah memiliki semua hal yang kita perjuangkan dalam hidup ini (kekayaan, kenyamanan, kecantikan, ketampanan, pujian, popularitas) namun mengakhiri hidupnya secara tragis, baik di dalam depresi maupun kematian—mulai dari laki-laki, perempuan, tua, muda, konglomerat, sampai kepada artis. Jumlah mereka seharusnya cukup untuk menyadarkan kita bahwa hidup yang kita jalani dan perjuangkan ini bukanlah hidup yang sesungguhnya.
Itulah sebabnya, Herman Bavinck, seorang theolog asal Belanda, memulai karya theologisnya (berjudul The Wonderful Works of God) dengan mengatakan, “God, and God alone, is the highest good of man.” Kebaikan dan kepuasan tertinggi manusia adalah Allah dan hanya Allah saja. Dunia ciptaan diisi dengan objek yang tidak hidup (benda mati), dan yang memiliki hidup (tumbuhan, hewan, dan manusia). Tumbuhan tidak memiliki kesadaran, sedangkan hewan memiliki kesadaran hanya bagi hal-hal yang terlihat dan terindera di sekelilingnya. Karena itulah hewan dapat dipuaskan hanya dengan makanan, minuman, bekerja dan beristirahat, dan hal-hal materi dan terlihat lainnya.
Ini berbeda dengan manusia. Di satu sisi, sama seperti hewan, manusia juga menyadari kebutuhan materi dan hal-hal terlihat, namun di sisi lainya, manusia juga punya kesadaran akan kebutuhan spiritual. Sejak mulanya, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26); manusia hidup karena Allah menghembuskan roh ke dalam tubuhnya (Kej. 2:7); dan Allah memberikan kekekalan dalam hati manusia (Pkh. 3:11). Keberdosaan manusia tidak menghapuskan semua ini dan dengan demikian bukan hanya membuat manusia merasa bersalah tetapi juga mengingatkan manusia akan naturnya yang berkait dengan Allah, dan tujuan akhirnya di surga bersama dengan Allah. Apakah gunanya manusia memperoleh seluruh dunia apabila ia kehilangan hidupnya? (Mrk. 8:36).
Maka, mengapa kita perlu belajar theologi, mengapa kita perlu mengenal Allah yang adalah dasar, inti, serta tujuan dari theologi? Jawabannya sederhana: karena kita manusia. Kita bukan hewan yang tidak punya kesadaran akan hal yang spiritual dan ilahi. Keberdosaan merusak kesadaran ini namun tidak memusnahkannya. Dan ketika kita, manusia berdosa, diselamatkan oleh Allah, kita seharusnya kembali memiliki hidup yang adalah mengenal Allah dan Kristus (Yoh. 17:3). Inilah mengapa Rasul Paulus, setelah menjadi orang Kristen, menganggap segala sesuatu sebagai sampah dibanding mengenal Kristus, dan rela kehilangan segala sesuatu demi pengenalan akan Kristus (Flp. 3:7-8). Jadi, mengapa kita perlu belajar theologi? Karena kita orang Kristen. (MR)