Tidak menyadari adanya bahaya merupakan bahaya yang lebih besar daripada bahaya itu sendiri. Demikian juga kemasabodohan dan kesalahmengertian mengenai dosa lebih berbahaya daripada dosa itu sendiri.
Tuhan tidak membagi manusia ke dalam dua kategori ketika ia berkata. “Aku datang bukan untuk memanggil yang benar, tetapi yang berdosa untuk bertobat.” Ini hanya sebuah ironi untuk orang berdosa yang tidak sadar akan keadaan mereka yang berdosa itu. Alkitab mengajar dengan penekanan yang jelas dan terus-menerus bahwa dosa adalah fakta yang dinyatakan oleh Allah yang benar kepada manusia yang berdosa. Namun kesulitannya terletak bagaimana orang berdosa dapat mengerti dengan tepat akan keberdosaannya, karena dosa juga telah merusak aspek rasio yang sering dipercaya mampu membawa pengertian yang benar bagi manusia. Itulah alasan mengapa Alkitab terus-menerus mengajarkan bahwa satu-satunya jalan untuk menjadi sadar mengenai dosa manusia adalah melalui iluminasi Roh Kudus.
Sepanjang sejarah, manusia selalu berusaha untuk mengabaikan fakta dosa. Manusia berusaha untuk menafsirkan bahwa ia bebas dari ikatan kuasa kejahatan apa pun. Namun, itu semua telah terbukti sebagai penipuan diri, yang dengan jelas terlihat di dalam keberadaan pertikaian, baik secara budaya maupun perseorangan. Sejak zaman Renaisans, wawasan dunia yang anthroposentris mengenai manusia alamiah telah mencoba untuk menginterpretasikan “Allah” dan “jiwa” melalui diri manusia sendiri yang berdosa sebagai titik pusat dari alam semesta dengan menjunjung tinggi rasio sebagai alat mutlak untuk menemukan kebenaran dan menganggap alam sebagai tujuan akhir dari hasil yang dicapai untuk memecahkan semua problem manusia. Tetapi sejarah memberikan kesaksian yang jujur mengenai kegagalan manusia. Di bawah segala pencapaian yang dangkal dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, psikologi, filsafat, dan bahkan agama, ada penyebab yang umum dan konsisten dari ketidakseimbangan dan masalah-masalah.
Masyarakat kita dipenuhi dengan jiwa-jiwa yang kosong meskipun di tengah-tengah kelimpahan materi; penuh dengan kekhawatiran akan peperangan meskipun tidak pernah berhenti membicarakan perdamaian; penuh dengan ketidakamanan meskipun senjata-senjata tercanggih dihasilkan; angka bunuh diri bertambah meskipun standar kehidupan meningkat; kehancuran keluarga meningkat seraya kebebasan seks dan percintaan semakin meluas. Dari zaman Renaisans sampai abad ke-20 kita terus bermimpi mengenai otonomi manusia yang lepas dari campur tangan Allah. Khususnya sejak abad ke-19, begitu banyak ideologi yang telah dimunculkan untuk menciptakan suatu optimisme modern yang naïf, termasuk theologi liberal, evolusionisme, dan komunisme. Semua ini berujung pada perang-perang yang menakutkan pada abad ke-20. Hal ini secara politik kemudian diikuti dengan revolusi-eksistensialisme. Semua mencoba untuk memecahkan persoalan manusia, namun sekarang kita tetap hidup dalam situasi yang kacau, tanpa tahu ke mana sejarah akan menuju. Pencarian identitas manusia tetap menjadi isu utama sampai hari ini. Kita masih tetap berjuang untuk demokrasi, kebebasan, keadilan, dan hak-hak asasi manusia.
Bukankah ini terus mengatakan kepada kita bahwa dosa dan keterhilangan adalah fakta yang tidak dapat disangkal? Tidak heran kalau Karl Barth melawan dua profesor liberalnya, Adolf von Harnack dan William Hermann, yang di satu sisi mengajarkan “persaudaraan umat manusia”, dan di sisi lain menyetujui invasi Jerman. Tidak heran bila pemimpin liberal Dr. Fosdick harus mengakui bahwa kaum liberal telah mengabaikan pengajaran tentang dosa, yang begitu konkret, dan bahwa kaum konservatif lebih mengerti akan hal ini. Tidak heran juga bila Niebuhr harus menekankan kembali pengajaran yang alkitabiah untuk mengerti dosa sebagaimana yang dinyatakan oleh perang dunia, dalam bukunya The Nature and Destiny of Man. Inilah juga alasan mengapa Tillich menulis dalam buku hariannya, dalam pelayanannya di antara kaum militer saat Perang Dunia I, “Yang saya lihat bukan kehancuran dari gedung-gedung di hadapan saya tetapi kehancuran dari kebudayaan.” Kebudayaan kita tampaknya mati, bahkan Rusia dan Tiongkok, setelah kemenangan mereka atas sistem politik yang lama dan setelah menjalankan komunisme untuk beberapa dekade, para pemimpin mereka merasakan pentingnya suatu pembaruan. Mereka terus menghadapi banyak kesulitan untuk diperjuangkan dalam diri mereka sendiri. So, sin is a a fact!
Disadur dari Khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong, tahun 1989 pada acara Laussane Congress di Manila