Amsal 27:4 dalam versi King James menyatakan “Wrath is cruel, and anger is outrageous; but who is able to stand before envy?” Di dalam bahasa Inggris, kata “cemburu” atau “iri” dapat diterjemahkan menjadi tiga kata berbeda yaitu: jealous, covet, dan envy. Ketiga kata ini memiliki kedalaman makna yang berbeda-beda. Jealous berarti khawatir bahwa orang lain akan mengambil apa yang kita miliki. Covet berarti mengingini apa yang dimiliki oleh orang lain. Sedangkan envy berarti marah karena orang lain memiliki sesuatu tersebut.
Kisah tentang envy di dalam Alkitab bisa kita baca pada kisah Saul dan Daud dalam 1 Samuel 18. Pada ayat 2 dan 5 diceritakan bahwa Saul membawa Daud ke rumahnya dan mengangkat dia menjadi kepala prajurit. Namun, begitu Saul mendengar nyanyian para perempuan pada ayat 7, bangkitlah rasa envy Saul terhadap Daud (ay. 8). Saul mulai menganggap Daud sebagai saingannya. Envy selalu didahului oleh semangat bersaing. Kemudian rasa bersaing ini berlanjut menjadi kemarahan karena merasa adanya ketidakadilan. Pada ayat 8, Saul seolah-olah berkata “Ya, tentu saja Daud dapat mengalahkan puluhan ribu, karena dia memang diperhadapkan dengan orang sebanyak itu. Tetapi kepadaku hanya diperhadapkan seribu. Tidak adil!” Akhirnya, kemarahan ini akan menimbulkan pikiran jahat yang hendak menjatuhkan saingannya tersebut. Pada ayat 17 dapat dilihat bahwa Saul berharap Daud dipukul oleh orang Filistin. Kejahatan ini tidak hanya berhenti pada pikiran saja yang pasif, tetapi dengan aktif mencari cara untuk mengalahkan Daud. Hal ini dapat dilihat pada ayat 21 dan 25 dengan puncaknya pada 1 Samuel 19:1, bahwa Saul memberikan perintah kepada anaknya dan semua pegawainya untuk membunuh Daud.
Envy berarti tidak senang terhadap kesuksesan orang lain. Orang lain yang dimaksud sering kali adalah orang terdekat kita. Kita tidak mungkin envy terhadap orang yang jelas-jelas berbeda level dengan kita. Contohnya, saya tidak mungkin envy terhadap kesuksesan pelayanan dari kakak atau pembina rohani saya karena memang saya berada di level yang berbeda dengan beliau. Tetapi saya sangat rentan untuk envy terhadap teman sepelayanan yang sebaya, yang mengerjakan hal-hal yang sama dengan yang saya kerjakan dan yang peduli terhadap hal-hal yang saya juga peduli! Maka, ini menjadi pertanyaan serius yang harus kita renungkan: Bagaimanakah respons kita terhadap kesuksesan orang lain atau teman kita? Bagaimana respons kita saat teman kita mendapatkan nilai ujian yang lebih bagus daripada kita? Bagaimana respons kita ketika teman kita memiliki lebih banyak sahabat daripada kita? Perasaan envy pun dapat terjadi di tengah-tengah dunia pelayanan kita. Bagaimana respons kita saat teman kita diberikan anugerah untuk menjadi panitia sebuah acara dan kita tidak? Bagaimana respons kita saat teman kita lebih sering ditunjuk menjadi liturgis dibanding dengan kita? Adakah kita marah karena merasa tidak diberikan kesempatan yang sama? Adakah kita menjadi sama seperti Saul yang marah karena kesuksesan Daud, atau justru belajar dari Yonatan yang mengasihi Daud karena tahu bahwa kesuksesan Daud datang dari Allah?
Jadi, bagaimanakah supaya kita bisa mengikis envy dalam hidup kita? Kita harus terus melihat kepada anugerah Kristus yang sudah dilimpahkan kepada kita melalui salib-Nya. Kita tidak dipanggil untuk membandingkan diri dengan orang lain. Tetapi kita dipanggil untuk hidup sesuai dengan anugerah yang sudah diberikan kepada kita! Kita tidak didefinisikan oleh talenta (atau kesuksesan) orang lain yang memaksa kita untuk bersaing. Tidak! Karena ini berarti kita sudah memakai ukuran dari standar yang salah. Kita harus belajar menilai diri di hadapan Allah, sehingga mengerti anugerah yang Allah berikan dan berjuang untuk meresponi anugerah tersebut sesuai dengan standarnya Allah. Marilah kita terus berjuang memenuhi standar Allah dan menyenangkan hati Allah saja, bukan orang lain, apalagi diri sendiri. (WS)