Nommensen
Sosok seorang anak muda yang memiliki keberanian yang luar biasa ada pada diri Ludwig Ingwer Nommensen. Ia lebih dikenal di Indonesia dibandingkan di negara asalnya di Marsch Nordstrand, Jerman Utara. Ketika genap berumur 28 tahun dengan tekad yang bulat, ia menetapkan pilihannya untuk menyebarkan Injil ke dunia lain yang sama sekali berbeda, jauh dan penuh misteri yaitu, Tanah Batak. Ia bahkan meninggal di Sigumpar, Toba Samosir pada usia 84 tahun.
Sebenarnya penginjilan di Tanah Batak sudah dimulai sejak tahun 1820-an. Pada tahun 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil yaitu Pdt. Burton Ward dan Pdt. Evans. Pdt. Evans menginjili di Tapanuli Selatan sedangkan Pdt. Burton Ward di wilayah Silindung. Mereka ditolak karena kepercayaan animisme begitu kuat di dalam kehidupan suku Batak.
Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika yaitu Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Mereka dibunuh di sana oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Kehidupan masa kecil Nommensen dijalaninya dengan penderitaan karena orang tuanya yang tuna karya dan sering sakit-sakitan. Ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga ia terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Pada usia 12 tahun, ia mengalami kecelakaan. Ia tertabrak kereta kuda yang mengakibatkan kakinya lumpuh dan harus diamputasi. Hal ini tidak membuyarkan impiannya sejak kecil untuk menjadi seorang penginjil.
Sambil bekerja sebagai tukang sapu, pekerja kebun, dan juru tulis sekolah, ia belajar di seminari zending (misionaris) Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) di Barmen, sekarang Wuppertal, selama empat tahun. Ia ditahbiskan menjadi pendeta pada tanggal 13 Oktober 1861, kemudian ia diutus ke Sumatera dan tiba di Tanah Batak pada tanggal 23 Juni 1862. Ia sangat cepat menguasai bahasa Batak dan bahasa Melayu.
Nommensen juga mengalami penolakan besar karena kehadiran zending ditantang oleh sebagian besar penduduk setempat karena mereka takut akan terkena bencana jika menyambut seorang asing yang tidak memelihara adat walaupun sebagian raja menerimanya. Sikap penolakan para raja ini disebabkan oleh kecurigaan mereka terhadap kedatangan orang-orang kulit putih sebagai perintis jalan bagi pemerintahan Belanda yang berkuasa pada waktu itu.
Akhirnya ia berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame (Kampung Damai) dan pada tahun 1873 didirikan gedung gereja, sekolah, dan rumahnya di Pearaja yang kemudian menjadi pusat HKBP. Gereja ini telah membaptiskan 180.000 orang sebelum Nommensen meninggal dunia.
Pelayanan Nommensen diberkati Tuhan sehingga Injil makin meluas. Ia menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Ia juga berusaha memperbaiki kehidupan penduduk di sana dengan memperbaiki pertanian dan peternakan, membangun sekolah-sekolah dan balai-balai pengobatan, termasuk mendirikan sekolah penginjilan yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak.
Nommensen kini tetap dikenang karena hatinya yang mengasihi suku Batak dan dipanggil dengan gelar kehormatan "Ompu I, Apostel Batak" (Rasul orang Batak).
"Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin."