Jehovah Rapha dalam kepahitan hidup

Devotion

Jehovah Rapha dalam kepahitan hidup

26 September 2022

Keluaran 15:22-27

Kisah di Mara dan Elim adalah kisah yang terjadi setelah bangsa Israel dibebaskan Allah dari perbudakan Mesir. Allah melalui Musa menuntun mereka keluar dari Mesir, menyeberangi laut Teberau yang terbelah dua, mereka berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut, sedangkan di kiri dan kanan mereka air itu sebagi tembok bagi mereka. Demikianlah pada hari itu TUHAN menyelamatkan orang Israel dari tangan orang Mesir. Dan orang Israel melihat orang Mesir mati terhantar di pantai laut.  31 Ketika dilihat oleh orang Israel, betapa besarnya perbuatan yang dilakukan TUHAN terhadap orang Mesir, maka takutlah bangsa itu kepada TUHAN dan mereka percaya kepada TUHAN dan kepada Musa, hamba-Nya itu (Keluaran 14:29-31).

Setelah itu mereka tiba di padang gurun Syur; tiga hari lamanya mereka di padang gurun itu dengan tidak mendapat air.  Dan ketika mereka sampai di Mara, mereka tidak bisa meminum airnya karena pahit. Bangsa Israel kemudian mulai bersungut-sungut kepada Musa. Musa lalu berseru kepada Tuhan, dan Tuhan membuat air pahit tersebut menjadi manis melalui kayu yang dilemparkan Musa ke dalam air.

Bangsa Israel baru saja menikmati pembebasan mereka dari perbudakan Mesir. Mereka bahkan memuji Allah yang membebaskan mereka (Keluaran 15:1-21), namun kepahitan hidup yang sementara, membuat mereka dengan cepat melupakan pemeliharaan Allah. Bukankah Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan Mesir melalui keajaiban laut yang terbelah, tidak mungkin membiarkan mereka mati kehausan? Namun bangsa Israel tidak mampu melihat hal tersebut. Kesulitan di depan mata, langsung membuat mereka menggerutu dan mengeluh, seolah Allah membiarkan mereka menderita dan mati kehausan. Namun Allah yang penuh kasih dan bermurah hati kemudian mengubah air yang pahit tersebut menjadi manis sehingga mereka dapat meminumnya. Allah berfirman kepada bangsa Israel: “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau." (Keluaran 15:26). Di dalam kepahitan hidup, di dalam kesulitan hidup, justru di situ Allah menghadirkan dirinya. Di Mara, Allah menghadirkan DiriNya sebagai Allah Penyembuh: Jehovah Rapha. Namun sayang, bangsa Israel bukan menikmati Allah, tetapi hanya menikmati berkat Allah. Ketika mereka mendapat kesulitan yang berikutnya, merekapun mulai menggerutu kembali (Keluaran 17:1-7). Ketika Allah lebih kecil, dan berkat lebih besar, maka kehidupan kita tidak akan pernah menikmati Allah yang sesungguhnya.

Ironinya adalah ketika mereka sampai di Elim di mana di sana ada dua belas mata air dan tujuh puluh pohon korma, lalu mereka berkemah di situ, tidak ada tanda-tanda Allah hadir bersama mereka. Allah tidak menghadirkan keajaiban DiriNya yang bisa dinikmati oleh bangsa Israel. Di tengah kenyamanan hidup, Allah terlupakan.

Marilah kita menyikapi setiap peristiwa dalam hidup ini dengan benar. Allah yang sudah mengirimkan Anaknya yang Tunggal mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita manusia berdosa dan bangkit sehingga kita mampu mengatasi segala problema dengan benar, tidak mungkin Allah “membiarkan kita dalam kebinasaan yang sia-sia”. Segala problema yang kita alami, sesungguhnya di sanalah kita bisa menikmati Allah Sang Penyembuh itu. Jehovah Rapha! (DS)