Akhir-akhir ini, banyak blog dan website dari penulis bebas (free writer) yang sering membahas mengenai cara-cara untuk berpergian ke luar negeri dengan biaya minimal. Pemuda-pemudi yang menyebut dirinya backpackers sering kali menulis atau meng-upload foto-foto perjalanan mereka yang membahas mengenai berbagai pesona alam yang tidak bisa ditemui di kehidupan normal mereka sehari-hari.
Melihat hal ini, penulis sering kali berpikir, “Siapa yang tidak mau berpergian mencari kesegaran di tengah alam bebas, atau berpetualang ke tengah-tengah reruntuhan tua, atau bahkan menjelajahi seluk beluk kota metropolitan yang jauh lebih maju dibandingkan dengan daerah di mana kita tinggal?” Kita yang setiap hari disambut dengan pemandangan dan rutinitas yang sama sering kali berharap untuk dapat meninggalkan kejemuan ini dan pergi ke suatu tempat yang tidak pernah kita kunjungi dan mengalami hal-hal yang belum pernah kita rasakan sebelumnya.
Hal-hal yang sekarang kita miliki dan hadapi sering kali adalah perwujudan dari nilai-nilai yang sudah kita geluti semenjak kecil. Dari kecil kita diajarkan untuk menuntut pendidikan setinggi mungkin, untuk akhirnya dapat memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang stabil dan memadai. Di dalam perjalanan demikian, ada kalanya kita merasa bosan, datar, kehilangan gairah, dan puncaknya – muak. Kemuakan inilah yang membuat kita haus akan excitement dan thrill.
Akan tetapi, tidak semua orang merindukan suasana roller-coaster. Ada sekelompok orang yang mencari kedamaian di dalam hidupnya. Orang-orang ini biasanya adalah mereka yang hidupnya sudah dipenuhi dengan hiruk-pikuk kota besar. Mereka mengharapkan suasana istirahat di mana kita tidak perlu lagi berpikir terlalu rumit mengenai hidup ini. Sebagai contoh sederhana: kondisi bisa tidur siang dan bangun pagi tanpa alarm. Damai tenteram!
Angan-angan mengenai kedamaian ataupun tantangan seperti yang terpampang di atas sesungguhnya bisa terjadi. Namun, sorry to say, sensasi yang seperti ini tidak akan fulfilling. Kenikmatan itu akan selesai hanya dalam sekejap mata. Kesementaraan ini bisa kita sebut sebagai pelarian, atau… penipuan diri.
Manusia secara dasar sudah bobrok semenjak kejatuhannya di dalam dosa. Efek dari dosa akan terus menerus, bukan hanya sesekali, memengaruhi cara berpikir, pengertian, dan epistemologi kita. Kehidupan Kristen sebenarnya penuh dengan perjuangan, baik fisik maupun spiritual, walaupun yang kedua lebih sering muncul.
Ada kalanya kita merasa iri kepada orang-orang dunia yang mengejar kehidupan yang asyik, yang penuh dengan petualangan dan resiko. Padahal, sudah sejak ribuan tahun yang lalu – sejak manusia jatuh ke dalam dosa – kita sudah berada di dalam fase ‘bahaya’ dan berisiko tinggi. Dosa bagaikan seekor singa yang terus mengawasi kita, mencari celah di mana kita sedang lengah, celah di mana kita mengira bahwa kita immune terhadap godaannya; ketika kesempatan itu tiba di hadapannya, ia akan segera melahap kita. Apakah ini tidak cukup bahaya?
Christian worldview mengajarkan kita bagaimana kita meresponi firman Tuhan di dalam kehidupan kita, bukan meresponi keadaan/situasi keberdosaan kita dan mengikuti arusnya (yang sering kali terlihat lebih mudah dan menyenangkan). Ketika kita bertobat, percaya kepada Yesus – Allah dan Juruselamat kita yang hidup, yang menebus dosa kita, yang menggantikan kita di atas kayu salib – kita sudah memencet tombol ‘start’ dari pengadopsian worldview tersebut. Kita diajak untuk hidup bagi Tuhan dan untuk memuliakan Dia. Oleh karena itu, ketika kita melihat hal ini terlampau berat, dan berpikir “ini mustahil ah!”, kita perlu sekali lagi merefleksikan di mana hati kita sebenarnya. Karena di mana hati kita berada, di sanalah sukacita kita juga berada! Mari kita bangkit untuk semakin mengenal Tuhan kita yang kekal di dalam perjalanan hidup ini. [AA]