Menangis

Christian Life

Menangis

21 September 2020

Setiap kita pasti pernah menangis. Bagaimana tidak? Saat kita hadir di dunia ini, kita menangis. Bahkan bila belum menangis, kita dibuat menangis oleh dokter yang menolong persalinan mama kita. Menangis ini diperlukan setiap bayi yang baru dilahirkan agar paru-parunya berkembang. Ketika masih anak-anak, kita juga pasti sering menangis. Seiring dengan bertambahnya umur kita, frekuensi tangisan kita makin berkurang. Bahkan ketika dewasa bila kita gampang menangis, kita akan dibilang cengeng. Pertanyaannya adalah baikkah setelah dewasa kita menangis? Atau lebih mendetail lagi, tangisan seperti apakah yang cocok dengan kedewasaan kita?

Injil Yohanes 11:35 mencatatkan, “Yesus menangis”. Kita bisa membaca kisah lengkap ini dalam Injil Yohanes 11:1-44 tentang kematian Lazarus dan Tuhan Yesus membangkitkannya. Kata menangis di ayat 35 ini berbeda dengan ayat 33. Kata menangis (Yunani: dakruo) di ayat 35 hanya ada satu kali dan merupakan ayat paling pendek dalam seluruh Alkitab, yang berarti tangisan yang mendalam secara diam-diam, bukan seperti tangisan meratap di rumah duka. Mengapa Yesus menangis? Ayat yang singkat ini memiliki arti yang mendalam. Yesus menangis karena kematian Lazarus, saudara yang dikasihi-Nya. Yesus juga menangis karena dosa yang mematikan dan tak berkesudahan di dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Yesus menangisi penderitaan dan kematian akibat dosa dari orang yang dikasihi-Nya. Uniknya adalah Dia justru tidak menangisi Diri-Nya saat disiksa, didera, dipaku, dan digantungkan di atas kayu salib. Bahkan ketika banyak perempuan menangisi dan meratapi-Nya ketika meihat Yesus disiksa dan memikul salib-Nya, Tuhan Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: “Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Luk. 23:27-28). Mengapa? Karena Yesus tidak pernah mengasihani diri-Nya sendiri, karena Dia sadar bahwa yang Dia kerjakan adalah suatu ketaatan kepada Bapa di sorga untuk menggenapkan rencana-Nya.

Bagaimana dengan kita? Ketika kita menangis, apa yang kita tangisi? Kehilangan harta, kehilangan kedudukan, ditinggalkan orang yang kita kasihi? Bila ditinggalkan oleh orang yang kita kasihi selama-lamanya, adakah kita pernah menangisi jiwa dia yang terhilang? Adakah kita melakukan sesuatu untuk menariknya keluar dari kematian kekal tersebut selagi ada kesempatan?

Mari kita belajar “menangis” dengan benar. Bukan lagi menangisi diri yang malang, tetapi menangisi jiwa-jiwa yang terhilang, dan meminta Tuhan menolong kita untuk melangkahkan kaki dengan rajin membawa jiwa-jiwa terhilang kembali kepada Tuhan. [DS]