Mendekati Theologi

Christian Life

Mendekati Theologi

17 March 2025

Pada artikel-artikel sebelumnya, kita mempelajari pentingnya belajar theologi. Namun, sering kali pendekatan kita dalam belajar theologi dibentuk oleh zaman dan bukan oleh Alkitab itu sendiri. Pendekatan atau cara berpikir yang salah akan menghasilkan pemahaman dan aplikasi yang salah.
Di dalam zaman modern, kebenaran objektif, absolut, dan universal menjadi sesuatu yang dipegang dan diperjuangkan. Dengan demikian, kebenaran dicapai melalui metode ilmiah yang didasarkan pada rasionalitas dan logika. Sebaliknya, zaman postmodern meragukan keberadaan kebenaran absolut dan universal. Kebenaran dianggap subjektif, relaitf, dan tergantung pada konteks. Oleh karena itu, kebenaran bukan didapatkan melalui metode saintifik, melainkan pengalaman pribadi dengan interpretasi yang beragam.
Cara berpikir modern dan postmodern ini sangat mungkin memengaruhi pendekatan kita dalam belajar theologi. Cara berpikir zaman modern yang mengandalkan rasionalitas mereduksi iman menjadi formula-formula logis. Kita akan merasa cukup Kristen dengan memiliki pengetahuan theologi yang lengkap, tanpa pernah menghidupinya. Di sisi lain, zaman postmodern yang menekankan pengalaman subjektif menjadikan pembelajaran theologi bukan dengan pembelajaran dari buku, seminar theologi, atau khotbah yang Alkitabiah, tetapi sekadar melalui cerita atau narasi yang menyentuh hati. Orang postmodern mungkin merasa cukup Kristen dengan perasaan dan pengalaman rohani yang menggebu-gebu, tanpa disertai dengan kebenaran yang Alkitabiah.
Baik pendekatan modern dan postmodern tidak dapat menghasilkan pembelajaran theologi dengan benar. Keduanya menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya. Zaman modern menekankan pengetahuan objektif dan mengabaikan pengalaman subjektif, sedangkan zaman postmodern sebaliknya. Namun, untuk belajar theologi dengan benar kita tidak dapat mengabaikan salah satu aspek.
Herman Bavinck, seorang theolog Calvinis dari Belanda mengatakan bahwa Allah menyatakan Diri-Nya secara eksternal (objektif) dan internal (subjektif). Secara eksternal Allah menyatakan Diri-Nya melalui alam (wahyu umum) dan Alkitab (wahyu khusus). Secara internal Allah menyatakan diri melalui hati nurani (wahyu umum) dan iman (wahyu khusus). Keduanya adalah pernyataan Diri Allah yang tidak dapat diabaikan dan saling melengkapi. Melalui pernyataan Diri Allah secara eksternal, Allah juga menyatakan Diri-Nya secara internal dalam diri kita. Misalnya, ketika kita membaca Alkitab, pembacaan Alkitab kita dapat menghasilkan respons internal dari diri kita, yaitu iman. Begitu juga ketika kita melihat alam ciptaan, kita dapat sadar akan keagungan Allah yang mencipta. Seluruhnya adalah pernyataan Diri Allah yang tidak dapat diabaikan. Hubungan antara wahyu umum dengan wahyu khusus akan dibahas pada artikel berikutnya. (EJ)