Bayangkan suatu hari presiden datang ke tempat kita dan memberikan suatu tugas. Tidak peduli tugas itu besar atau kecil, yang penting itu dari pak presiden, kita pasti akan menerima tugas tersebut dengan senang hati. Siapa yang tidak senang diberikan tugas oleh orang nomor satu di Indonesia, apalagi kita bukan siapa-siapa, hanyalah rakyat biasa. Betapa mulianya panggilan tersebut. Kita pasti akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti karena ini adalah tugas dari presiden. Atau contoh lain, kalau kita diminta tolong oleh gebetan kita. Kita pasti merasa, “Wah dia masih mau minta tolong sama saya, berarti saya masih dianggap penting olehnya.” Banyak hal bisa dijadikan contoh, entah itu artis idola kita, orang yang kita kagumi. Terhadap orang-orang seperti ini, ketika meminta bantuan, kita pasti akan langsung menerimanya dengan sukacita. Namun, bagaimanakah ketika kita menerima pelayanan yang diberikan dari Tuhan kepada kita?
Sewaktu awal kita belum mulai terlibat dalam pelayanan, kita mungkin menanti-nantikan kapan Tuhan akan memberikan tanggung jawab kepada kita. Kita menantikan panggilan Tuhan sambil menebak-nebak pelayanan seperti apa yang akan kita kerjakan. Setelah mendapatkan pelayanan tersebut, kita lalu bersukacita dan mengerjakan dengan sungguh-sungguh karena kita merasa sudah menjadi alat di tangan Sang Pencipta.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, ketika makin banyak pelayanan yang dipercayakan dan banyak hambatan akankah kita tetap merasa bersukacita seperti saat awal kita menerima panggilan tersebut? Sebagai orang Kristen kita sering mengatakan bahwa pelayanan adalah sebuah anugerah. Namun, ketika pelayanan sudah mulai menyulitkan kita, bentrok dengan kepentingan pribadi, tidak dihargai, akankah kita tetap menyebut pelayanan tersebut sebagai anugerah Tuhan? Atau makin banyaknya pelayanan dan munculnya orang-orang yang hanya bisa memerintah kita untuk melakukan ini dan itu di dalam pelayanan, apakah kita tetap bisa melihat semua itu sebagai pelayanan atau justru melihat itu sebagai perbudakan?
Secara mulut kita mungkin tidak mengatakan bahwa pelayanan adalah perbudakan, tetapi secara sikap kita mungkin sekali menunjukkan bahwa pelayanan adalah perbudakan. Apa buktinya? Ketika kita mulai mengeluh, membandingkan diri dengan orang lain yang tidak mengerjakan apa-apa, tidak bersukacita lagi, atau bahkan merasa kita tidak mendapatkan apa-apa dari pelayanan itu, ini semua bisa menjadi indikasi bahwa kita sudah tidak menganggap pelayanan sebagai sebuah anugerah.
Mari kita renungkan kembali, selama ini kita melayani, apakah kita melihat tugas dan tanggung jawab dari Tuhan sebagai sebuah anugerah atau justru kita merasa seperti diperbudak? Kita perlu selalu mengingat siapa diri kita di hadapan Tuhan. Jikalau Tuhan tidak beranugerah, kita hanyalah orang berdosa yang sepatutnya dibuang ke neraka. Jikalau kita menyadari hal ini, maka kita akan tetap bisa melihat setiap pelayanan itu sebagai anugerah. Pandangan ini akan membuat kita tidak terus menunggu balasan dari Tuhan dan rekan pelayanan. Bagi kita cukuplah kepercayaan Tuhan bagi kita boleh melayani-Nya. Anugerah ini cukup! Kiranya Tuhan menyatakan anugerah-Nya kepada kita untuk tetap sadar siapa diri kita dan melihat setiap pelayanan adalah anugerah. (SW)