Tanpa Wahyu, Tidak Tahu

Christian Life

Tanpa Wahyu, Tidak Tahu

14 April 2025

Pada artikel sebelumnya, “Belajar Theologi: Apa dan Bagi Siapa?”, kita telah membahas bahwa objek dari theologi adalah pengetahuan akan Allah. Namun, kita perlu mengingat bahwa Allah tidak sama dengan objek pengetahuan lainnya seperti alam dan manusia. Perbedaan objek ini akan menentukan sikap dan cara kita dalam mengetahui hal tersebut.

Ketika kita ingin mengetahui alam, kita hanya perlu melakukan observasi. Manusia diciptakan untuk berkuasa atas alam (Kej. 1:26). Alam tunduk kepada manusia sehingga alam tidak dapat menolak untuk “memperkenalkan dirinya” kepada manusia. Apabila kita ingin mengetahui arah gerak tumbuhan, tumbuhan tidak dapat menolak untuk memberitahukan arah geraknya - misalnya dengan berpura-pura menjauhi matahari (padahal tumbuhan bergerak mendekati matahari) - supaya pengetahuan kita salah. Tumbuhan pasti bergerak ke arah matahari, sehingga kita hanya perlu melakukan observasi maka pengetahuan kita valid. Selain itu, karena kita berkuasa atas alam, kita juga dapat mengontrol atau memanipulasi alam untuk mengetahui rahasianya. Misalnya, kita dapat meletakkan satu tanaman di tempat terang dan satu tanaman lain di tempat yang gelap sehingga kita dapat mengetahui apakah tumbuhan memerlukan cahaya untuk pertumbuhannya.

Hal ini berbeda ketika kita ingin mengenal pribadi sesama manusia. Setiap manusia diciptakan setara (Kej. 1:26-27), sehingga manusia tidak dapat memaksa dan mengontrol sesamanya untuk memperkenalkan dirinya. Jika Galih ingin mengetahui makanan kesukaan Ratna tetapi Ratna tidak ingin memberitahu Galih, maka Galih tidak akan pernah tahu. Atau, Ratna bisa saja menipu Galih (Ratna berpura-pura sering makan bakso, padahal sebenarnya dia menyukai babi panggang), sehingga observasi Galih salah. Pengetahuan Galih mengenai Ratna ditentukan bukan oleh usaha Galih, tetapi seberapa jauh Ratna mengizinkan dirinya dikenal oleh Galih. “Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia?” (1Kor. 2:11), demikianlah kata Rasul Paulus. Namun, manusia bukanlah pribadi yang bersifat absolut. Manusia tidak dapat mengendalikan kesadaran dirinya sepenuhnya, sehingga terkadang manusia dapat memberitahu sesuatu mengenai dirinya yang awalnya tidak ingin ia beritahu. Misalnya, Ratna tidak sadar bahwa Galih mengikuti Ratna ke toko babi panggang, sehingga diam-diam Galih dapat tahu apa yang Ratna tidak ingin beritahu (makanan kesukaanya: babi panggang). Atau, Galih dapat memanipulasi Ratna dengan cara “baik-baikin” Ratna (kasih hadiah, traktir makan) sehingga Ratna akhirnya luluh dan mau memberitahu makanan kesukaannya.

Namun Allah tidaklah demikian. Allah adalah pribadi yang absolut. Allah tidak pernah tidak sadar dan tidak pernah bergantung pada apa pun, termasuk kita. Kita tidak bisa secara diam-diam mengetahui apa yang Allah tidak ingin beritahu karena Dia selalu sadar. Manusia juga tidak bisa memanipulasi Allah untuk memperkenalkan diri-Nya; kita tidak bisa “baik-baikin” Allah, misalnya dengan persembahan dan pelayanan kita supaya Allah luluh lalu memberitahukan hal-hal mengenai diri-Nya yang awalnya tidak ingin Dia beritahu. Maka, pengetahuan kita mengenai Allah selalu bersifat pasif. Kita menerima dengan iman apa yang Allah nyatakan dan hanya sejauh apa yang Allah nyatakan kepada kita (Ul. 29:29). Pengetahuan dan pengenalan kita tentang Allah sepenuhnya bergantung pada kerelaan Allah untuk menyatakan diri-Nya. Inilah yang disebut wahyu. Tanpa Allah mewahyukan diri-Nya, pengenalan akan Allah adalah mustahil. (MR)