The Beloved Author of The Most Beloved Stories

Clive Staples Lewis (1898-1963)

The Beloved Author of The Most Beloved Stories

10 August 2015

“It isn’t Narnia, you know,” sobbed Lucy.
“It’s you. We shan’t meet you there. And how can we live, never meeting you?”
“But you shall meet me, dear one,” said Aslan.
“Are -are you there too, Sir?” said Edmund.
“I am,” said Aslan. “But there I have another name. You must learn to know me by that name. This was the very reason why you were brought to Narnia, that by knowing me here for a little, you may know me better there.” 
- C.S. Lewis -  The Chronicles of Narnia; The Voyage of the Dawn Treader

Nyatanya perjalanan hidup seorang Jack, begitu ia senang dipanggil, tidak selancar jemari tangannya menuliskan cerita-cerita memikat itu.

Clive Staples Lewis dilahirkan 29 November 1898 di Irlandia dalam keluarga Kristen yang juga membesarkannya secara Kristen. Hidup mereka cukup baik pada masa itu, ia tinggal di rumah yang dinamai Little Lea (ya, mereka memberi nama pada tempat tinggal mereka!) bersama ayah, ibu dan kakaknya, Warren Lewis. Little Lea mempunyai taman yang luas, juga perpustakaan yang penuh sesak dengan buku, di mana Warren dan Jack dapat belajar dengan leluasa. Buku yang paling disukai oleh Jack kecil adalah Treasure Island oleh Robert Louis Stevenson dan The Secret Garden oleh Frances Hudgson Burnett. Lihatlah, ia mencintai cerita sejak ia begitu kecil.

Sebuah Kehilangan yang Menyakitkan
Suatu malam, Jack kecil terbangun karena kepala dan giginya terasa sakit, ia menangis. Setelah beberapa waktu menangis, ia bingung, “Mengapa ibu tak kunjung datang melihatku?” Ia terus menangis, “Cepatlah datang, Bu.” Tetapi ibunya tak datang. Yang terdengar hanya bunyi langkah dan bisikan orang-orang dewasa, pintu-pintu dibuka tutup. Kemudian ayahnya datang, ia menangis. “Jack,” katanya lembut, “Ibumu mengidap kanker. Ia akan dioperasi malam ini, semoga operasi ini dapat menyembuhkannya.”

Ia tidak juga sembuh. Flora August Hamilton Lewis semakin lemah dan terus dikarantina, Warren dan Jack tak diperbolehkan menemuinya. Jack kecil berdoa untuk kesembuhan ibunya; Saat itu ia tidak tahu siapa Tuhan, ia tak hormat ataupun takut pada-Nya, baginya Tuhan adalah seperti seorang pesulap yang serba bisa, maka ia sangat mengharapkan terjadinya mujizat. Namun mujizat itu tidak terjadi. Flora Lewis meninggal tahun 1908. Pukulan keras oleh kematian yang pertama di dalam hidup Clive Staples Lewis. Pukulan ini meninggalkan luka mendalam tersendiri di dalam hatinya. Ia baru bocah berumur 10 tahun! Jack kehilangan rasa aman, ia kehilangan jangkar dalam hidupnya; Kehadiran ibunyalah yang selama ini membuat hidupnya dilingkupi dengan kebahagiaan. Ketika dewasa ia mengatakan, “sejak hari itu, tetap ada kesenangan dan tawa dalam hidupku, tetapi tidak pernah ada lagi rasa aman yang sama.”

Meninggalkan Kekristenan
Tidak sampai sebulan setelah kematian Flora Lewis, Warren dan Jack dikirim ke sekolah berasrama di Inggris. Jack remaja membenci sekolahnya; Ia membenci peraturannya yang ketat, ia membenci kepala sekolahnya yang dingin, ia sangat merindukan Little Lea, rumahnya di Belfast, Irlandia. Mengalami berbagai gejolak di dalam studinya, bersekolah di Inggris pada akhirnya terbukti mampu membawa manfaat bagi Jack yang memang brilian. Jack mencintai puisi, terutama karya-karya Virgil dan Homer. Ia juga mengembangkan kemampuannya berbahasa, ia akhirnya menguasai bahasa Perancis, Jerman, dan Italia.

Di dalam masa remajanya ini, ketika ia mulai membaca berbagai tulisan dan buku-buku, Jack mulai berpikir mengenai kehidupan dan mengenai Tuhan. “Hidup,” kata Jack pada seorang teman saat itu, “isinya hanyalah semester, liburan, semester, liburan, sampai masa sekolah kita selesai, lalu bekerja, bekerja, dan bekerja, sampai kita mati!”

Di sekolahnya, Jack memiliki seorang ibu asrama yang atheis, yang sangat memengaruhi pemikirannya. Ibu asrama ini sering mengajak Jack dan teman-temannya berdiskusi, memperlakukan mereka seperti orang-orang terpelajar. “Sedikit demi sedikit,” kata Jack di kemudian hari, “ia menumpulkan semua sudut tajam di dalam kepercayaan saya… Saya mulai menggantikan ‘Aku percaya’ dengan ‘Aku terkadang merasa…’, saya menjadi percaya bahwa tidak ada hal di dunia ini yang perlu ditaati, selain hal-hal yang membuat saya nyaman dan tertarik.”

Pada masa-masa yang sama, C.S. Lewis remaja sangat tertarik dan dipengaruhi oleh mitologi-mitologi sampai ia melihat kepercayaan dan agama sebagai suatu nonsense. Ia menjauhi Kekristenan. Ia juga belajar di bawah seorang guru, William Kirkpatrick. Kirkpatrick, yang adalah seorang atheis, menantang Jack untuk berpikir dengan kemampuannya sendiri dan meninggalkan ide-ide konvensional mengenai agama dan kepercayaan. Akhirnya Clive Staples Lewis, pada usia 15 tahun, mengakui dirinya sebagai seorang atheis.

Hidup di Oxford
Tahun 1916, Jack diterima di University College, Oxford University. Oxford, bersama-sama dengan Cambridge University, telah menjadi pusat pembelajaran paling bergengsi sejak Abad Pertengahan. Tak lama setelah ia masuk di Oxford, Jack memilih untuk menjadi tentara relawan dalam Perang Dunia I, melayani British Army dan dikirim untuk ikut berperang di utara Perancis. Ia kehilangan beberapa teman dan juga turut mengalami luka-luka di medan perang.

Pada akhir Perang Dunia I, Jack kembali ke Oxford, melanjutkan studinya dengan semangat penuh. Tahun 1925, setelah menyelesaikan bidang Literatur Yunani dan Latin, Filsafat dan Sejarah, juga Literatur Inggris, Jack dipilih untuk mengisi kursi pengajar bahasa Inggris di Magdalen College, Oxford. Ia bekerja di Oxford selama 29 tahun sebelum akhirnya menjadi Profesor Literatur Abad Pertengahan dan Renaisans di sana pada tahun 1955.

Hal yang paling menarik dari hidup Jack di Oxford adalah persahabatannya; pertemuan rutin Inklings. Inklings adalah kelompok Jack bersama dengan teman-teman dan kolega-koleganya, termasuk kakaknya, Warren Lewis, dan J.R.R. Tolkien (penulis seri Lord of The Rings). Mereka sering mengadakan pertemuan untuk saling membaca dan mendiskusikan buku-buku yang mereka tulis, atau sesederhana untuk ngobrol satu dengan yang lain. Inklings, bukankah nama yang sangat cocok untuk sekelompok penulis yang saling bersahabat? Nantinya melalui perbincangan dengan teman-temannya inilah Jack menemukan imannya kembali kepada Yesus Kristus pada usia 33 tahun.

C.S. Lewis Sang Penulis
Di samping pekerjaannya sebagai pengajar di Universitas, Jack mulai menerbitkan buku hasil tulisannya. Buku yang pertama ia terbitkan salah satunya adalah The Pilgrim’s Regress (1933), tulisan mengenai perjalanan rohaninya sendiri. Karya lain yang membawanya memenangkan pujian dan penghargaan adalah The Allegory of Love (1936), yang sampai hari ini masih dipandang sebagai sebuah masterpiece. Melalui karya ini, Jack diakui bukan hanya sebagai penulis dari buku-buku bertema religius, melainkan juga sebagai penulis buku-buku akademik dan novel-novel.

The Chronicles of Narnia
Ketika Jack memutuskan untuk mengalihkan konsentrasinya kepada penulisan buku anak-anak, penerbit dan beberapa rekannya mencoba untuk mencegahnya; bukankah itu akan merusak reputasinya sebagai penulis yang karya-karya yang intelektual dan bermutu tinggi? Bersyukurlah bahwa Jack pada saat itu tidak mendengarkan mereka. Seri Chronicles of Narnia yang pertama, The Lion, the Witch, and the Wardrobe pun diterbitkan. Jack kemudian segera menggarap 6 buku lagi untuk menyelesaikan seluruh seri Narnia. Pada awalnya seri ini tidak dapat diterima dengan baik dan menuai banyak kritik dari para kritikus literatur, namun buku-buku ini menjadi sangat populer karena banyak dibicarakan di tengah masyarakat. Sampai hari ini, seri Narnia sudah terjual lebih dari 100.000.000 kopi di dalam berbagai bahasa, dan merupakan salah satu literatur anak-anak yang paling dikenal dan dicintai.

Tahun-Tahun Terakhir
Setelah menyelesaikan seri Narnia, Jack kemudian menggarap tema-tema religius dan biografi. Namun di dalam masa-masa akhir ini, ia melimpahkan hampir seluruh perhatiannya kepada masalah kesehatan istrinya, Joy Gresham, yang dinikahinya tahun 1956 dan yang akhirnya meninggal oleh kanker pada 1960. Setelah kematian Joy, kesehatan Jack sendiri pun merosot drastis. Ia mengundurkan diri dari posisi mengajarnya pada tahun 1963, dan pada tahun yang sama, tanggal 22 November, Clive Staples ‘Jack’ Lewis meninggal dunia. Kematiannya tidak terlalu mendapat perhatian publik karena di hari yang sama Presiden John F. Kennedy dibunuh, sehingga seluruh perhatian media justru terarah kepada Kennedy. Sang penulis, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh intelektual Kristen terbesar di abad ke- 20, meninggal dalam kesederhanaan dan keheningan.

Siapa Sebenarnya Aslan?
Walaupun Jack menulis The Chronicles of Narnia bagi anak-anak, ia juga mau membuat cerita-cerita ini tetap menarik bagi pembaca dewasa, juga untuk membawa sebuah pesan yang lebih besar daripada cerita itu sendiri; Maka kisah Narnia dapat dibaca dan dinikmati di dalam level yang berbeda, yakni sebagai sebuah kisah Kekristenan seperti yang dinyatakan di dalam Alkitab. Aslan sang Singa yang agung dan anggun itu merepresentasikan Yesus Kristus, yang mati menggantikan hukuman dosa manusia dan bangkit mengalahkan kematian sebelum akhirnya Ia naik ke surga.

Pada tahun 1954, di dalam suratnya pada seorang gadis kecil yang bertanya mengenai siapakah Aslan, ia menjawab: “Mari kita membayangkan bahwa betul-betul ada tempat seperti Narnia, dan Yesus Kristus, yang datang ke dalam dunia kita menjadi manusia, datang ke Narnia sebagai Singa, lalu bayangkanlah apa yang akan terjadi…”

Clive Staples Lewis, seorang raksasa iman, seorang raksasa intelektual, sekaligus seorang berhati begitu lembut sehingga ia, yang berpendidikan begitu tinggi, mampu berbicara dengan bahasa yang paling sederhana, bahasa anak-anak. Ia diingat dan dikasihi sampai hari ini karena legacy yang ia wariskan kepada generasi-generasi setelahnya; warisan iman, warisan Injil, warisan kebenaran, warisan pergumulan di hadapan Allah. Semuanya ini merupakan warisan yang bernilai kekal. Pertanyaannya sekarang, apakah yang kita warisi dari generasi sebelum kita? Dan apakah yang akan kita wariskan bagi generasi setelah kita?

“Aslan,” said Lucy, “you’re bigger”.
“That is because you are older, little one,” answered he.
“Not because you are?”
“I am not. But every year you grow, you will find me bigger”.
- C.S. Lewis, The Chronicles of Narnia; Prince Caspian

Disadur dari Sekilas KIN Pemuda 2015 Edisi 6