Kekudusan Pribadi

oleh Arthur W. Pink

Kekudusan Pribadi

11 August 2015

“Pandangan bahwa kekudusan pribadi tidak perlu bagi pemuliaan akhir, bertentangan langsung dengan setiap hukum Allah; dengan segala deklarasi Alkitab.” – Augustus Toplady

Karena kejatuhan manusia dalam diri Adam, kita bukan hanya kehilangan perkenanan Allah namun juga kekudusan natur kita, sehingga perlu adanya perdamaian/rekonsiliasi dengan Allah dan pembaruan batiniah, sebab tanpa kekudusan pribadi “tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibr. 12:14). “Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu; sebab ada tertulis: Kuduslah kamu sebab Aku kudus” (1Ptr. 1:15-16). Tanpa adanya pengudusan diri, tidak mungkin ada persekutuan antara Tuhan dengan kita, oleh sebab natur Tuhan adalah kudus.

Akan tetapi, bisakah manusia menjadi penuh dosa dan kudus dalam waktu yang bersamaan? Orang Kristen sejati menemukan banyaknya kedagingan, hawa nafsu, kenajisan, dan kenistaan dalam diri mereka, sehingga merasa suatu hal yang mustahil untuk mengetahui bahwa diri mereka adalah kudus. Kesulitan ini, dalam hal pembenaran, tidak dapat dibereskan hanya dengan mengakui bahwa diri kita yang penuh dosa mendapatkan kekudusan dalam Kristus, sebab Alkitab mengajarkan bahwa orang yang dikuduskan oleh Allah adalah kudus dalam dirinya, meskipun natur dosa mereka belum dihapuskan.

Tak seorang pun selain “yang suci hatinya” dapat “melihat Allah” (Mat. 5:8). Oleh sebab itu, harus ada renovasi jiwa di mana akal budi, afeksi, dan kehendak kita dibawa dalam keharmonisan dengan Tuhan. Harus ada keutuhan dan keseimbangan dalam penyesuaian dengan kehendak Allah yang telah diwahyukan dan perlawanan akan kejahatan dalam iman dan kasih. Harus ada yang mengatur seluruh perbuatan kita agar diarahkan hanya bagi kemuliaan Tuhan, melalui Yesus Kristus, berdasarkan Injil. Harus ada Roh kekudusan yang terus bekerja dalam setiap hati orang percaya untuk menguduskan tindakan luar mereka apabila mereka akan dijadikan layak untuk diterima oleh Tuhan yang “tidak ada kegelapan di dalam-Nya”. Benar bahwa sifat kekudusan yang sempurna disediakan dalam Kristus bagi setiap orang percaya, tetapi harus ada juga natur kekudusan yang diberikan oleh- Nya. Ada sebagian orang yang kelihatan menikmati ketaatan Kristus namun memikirkan sangat sedikit, bahkan mungkin tidak sama sekali, tentang kekudusan pribadi mereka. Orang-orang inilah yang sering menyombongkan tentang dikenakannya “pakaian keselamatan dan diselubungi dengan jubah kebenaran” (Yes. 61:10), tetapi yang tidak menunjukkan tanda bahwa mereka “berpakaian kerendahhatian” (1Ptr. 5:5) ataupun “mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah lembutan, kesabaran terhadap yang lain, dan pengampunan bagi satu dengan yang lain” (Kol. 3:12-13).

Berapa banyak orang di zaman ini yang beranggapan jika mereka sudah percaya kepada Kristus maka segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya pasti baik-baik saja meskipun secara pribadi mereka tidak kudus? Setan, berpakaian sebagai malaikat terang, telah memperdaya banyak jiwa dalam sebuah permainan sandiwara menghargai “iman”. Ketika “iman” mereka diperiksa dan diuji, berapa nilainya? Tidak ada hal lain selain sebagai tiket masuk ke sorga yang menjadi perhatiannya. Iman seperti demikian adalah sesuatu yang tak berdaya, tak bernyawa, tak berbuah, dan sia-sia! Iman orang-orang pilihan Allah harus berdasarkan pengetahuan dan kebenaran yang mengejar kekudusan (godliness) (Tit. 1:1). Inilah iman yang menyucikan hati (Kis. 15:9), dan bersusah hati akan segala kenajisan. Inilah iman yang menghasilkan ketaatan yang mutlak (Ibr. 11:8). Karena itu, mereka membohongi dirinya sendiri, melakuan kegiatan yang dipikirnya akan mengantar mereka semakin dekat dengan sorga namun yang sebenarnya memimpin mereka ke neraka. Mereka yang berpikir dapat menikmati Tuhan tanpa menjadi kudus secara pribadi, sama dengan menjadikan-Nya Tuhan yang najis dan memberikan penghinaan tertinggi bagi Dia. Kesejatian dari iman yang menyelamatkan, hanya nampak melalui mekarnya latihan kekudusan secara tekun dan buah dari kesalehan yang murni.

Dalam Kristus, Tuhan telah menetapkan standar kesempurnaan moral bagi umat- Nya untuk dijadikan sasaran agar umat- Nya berjuang mencapainya. Melalui hidup-Nya, kita dipertontonkan sebuah representasi yang mulia akan natur kita (manusia) yang berjalan dalam ketaatan yang Tuhan tuntut. Kristus menyamakan diri-Nya dengan kita melalui inkarnasi; bukankah masuk akal jika kita pun harus menyamakan diri kita dengan Kristus dalam hal ketaatan dan pengudusan. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp. 2:5). Dia datang kepada kita sedekat mungkin yang bisa Dia lakukan; Bukankah juga masuk akal jika kita pun berusaha keras untuk datang kepada-Nya sedekat mungkin yang bisa kita lakukan? “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku” (Mat. 11:29). ”Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri” (Rm. 15:3), bukankah masuk akal bahwa kita juga perlu menyangkal diri dan memikul salib kita dan mengikuti Dia (Mat. 16:24), karena tanpa melakukan demikian kita tak akan menjadi murid-Nya (Luk. 14:27). Jika kita akan disamakan dengan Kristus dalam kemuliaan, bukankah seharusnya kita menjadi sama terlebih dahulu dalam kesucian- Nya: “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1Yoh. 2:6). “Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan” (2Tim. 2:19): Biarkan dia menjalankan hidup seperti Kristus, atau menjatuhkan nama Kristus.

Disadur dari Sekilas KIN Pemuda 2015 Edisi 1